Monday 30 November 2015







“Ladies and gentlemen, welcome to the 78th Hunger Games”-Finnick Odair

Plot

Melanjutkan kisah Mockingjay Part 1, Para Pemberontak yang dipimpin oleh Presiden Coin (Julianne Moore, damn, she’s still really gorgeous) berniat untuk mengambil alih Distrik 13. Dengan bantuan sang Mockingjay, Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence), sang presiden yakin apabila Distrik 13 bisa direbut maka tujuan utama melakukan kudeta terhadap Presiden Snow (Donald Sutherland) akan jauh lebih mudah. Tapi kondisi mental Katniss sendiri sedang tidak baik ketika melihat Peeta (Josh Hutcherson) malah berbalik memusuhinya akibat brainwash yang dilakukan Presiden Snow dan antek-antek Capitol nya




Review

Perlu gw tekankan, gw adalah salah satu penonton yang sangat menikmati dua film awal The Hunger Games, bahkan, sekuelnya yaitu The Catching Fire adalah salah satu film terbaik untuk film beradaptasi novel. Dalam  film tersebut, ketegangan yang didapatkan benar-benar intens, konflik politik dan segala tetek bengek akan propagandanya semakin dalam dan mudah dinikmati, karakter baru yang muncul begitu unik serta menarik dan tentu masih ada seorang Katniss dengan pidato yang penuh semangat dan bermakna yang berhasil membuat gw merinding (adegan ketika Katniss berpidato dan ada kakek tua yang berani mengangkat tangannya sambil menunjukkan simbol Mockingjay dengan jari nya itu adalah adegan terfavorit gw sepanjang franchise ini). Tetapi ketika pihak Lionsgate memutuskan untuk memisah sekuel terakhir dengan 2 bagian, di saat itu juga gw ragu apakah The Hunger Games akan mendapatkan penutup yang layak. Dan keraguan gw benar-benar terjadi, bukan saja Part 2 ini bukan penutup yang layak untuk franchise sebesar The Hunger Games, tetapi film ini juga menjadi film paling lemah di banding yang lainnya (yah, beda tipislah dengan Part 1).
Pada Part 1 pun telah terlihat jelas bahwa sang sutradara mengulur-ulur durasi dalam suatu adegan dan juga memasukkan adegan yang tidak penting (syuting Katniss, everyone?) tapi gw cukup menyukai drama politiknya. Karena Part 1 kebanyakan drama dan jalan menuju sebuah ‘ledakan’ pemberontakan, gw sebagai penonton awam yang hanya mengikuti franchise ini lewat sajian visual, gw pun mengharapkan kalau di Part 2 ini lah segala konflik yang ada disajikan dengan intensitas tinggi dan bermakna. Tetapi sayangnya semua harapan tinggallah harapan. Keraguan gw telah muncul ketika film telah memasuki setengah jam pertama. Begitu lambat dan tidak ada pertukaran dialog yang berhasil menarik perhatian, bahkan adegan ketika Katniss mengajak simpatisan Distrik 13 untuk melawan Snow pun begitu garing dan berlalu begitu saja, tanpa meninggalkan kesan apapun. Gw tidak menyangka pidato sang Mockingjay bisa berakhir seperti itu. Untungnya setiap adegan aksi, Francis Lawrence berhasil menggedor adrenaline kita sebagai penonton. Adegan ketika para pemberontak dikejar dengan banjir oli atau lumpur hitam yang berbahaya, penyusupan ke Captiol dengan melewati bawah tanah hingga pertempuran dengan mutan, dan usaha diam-diam Katniss memasuki kerajaan Snow, semuanya berhasil ditampilkan F-Law dengan intensitas tinggi. Karakter-karakter yang ‘hilang’ di dalam adegan aksi itu pun tidak dibuat hanya berlalu begitu saja, dan sayangnya hanya itu nilai positif film ini. Ketika tidak ada adegan aksi nya dan hanya mengandalkan porsi drama, di saat itu pula Mockingjay Part 2 kehilangan greget nya dan sangat tidak menarik untuk diikuti. Jadi jangan heran apabila penonton di bioskop ada yang rela meninggalkan ruangan bioskop di pertengahan film. Bahkan ketika film telah bergerak menuju konflik akhir, tidak ada pergolakan emosi yang hadir dari para pemberontak, penduduk Panem, atau bahkan Katniss sehingga scene klimaks tersebut hanya berlalu begitu saja tanpa meninggalkan kesan apapun. Lalu bagaimana dengan cinta segitiganya? Satu kata yang mampu mewakili setiap menit ketika film ini beranjak ke ranah percintaannya, Awkward. Gw sama sekali gak merasakan romansa di antara Peeta-Katniss-Gale. Antara Katniss-Gale pun hampir tidak ada chemistry  dan koneksinya  hampir kosong sehingga tidak tampak apabila mereka adalah sahabat dari kecil. Gw yang selalu bersimpati dengan cowok yang di friendzone malah gak ada rasa simpati atau kasian sama sekali ke Gale. Peeta-Katniss pun juga tidak jauh berbeda, ditambah dengan karakter annoying Peeta yang membuat gw berharap karakter ini ditiadakan (maaf, Mbak Niken :P). Dan juga gw gak menyangka apabila di film ini akan muncul sebuah adegan ciuman ketika situasi sedang genting, i mean, c’mon, is it really important to kiss someone when you are on live or die conditions??Fucking cliche.
Mengenai karakter, ada satu karakter yang semenjak kemunculannya sangat menarik perhatian dan pastinya mudah disukai, yaitu Finnick (Sam Claflin). Walau di dalam film ini perannya tidak terlalu menonjol, tetapi Sam Claflin berhasil membuat karakter Finnick menjadi scene stealer dan aktingnya tidak membuat para pria muak melihatnya.Ya, karakter-karakter side kick  The Hunger Games masih memuaskan seperti Haymitch (Woody Harrelson), President Snow (yang ditampilkan sedikit manusiawi) dan tentunya Plutarch yang diperankan alm. Philip Seymour Hoffman yang telah menjadi salah satu karakter terbaik ketika pertama kali muncul di Catching Fire. Bahkan komandan Boggs (Mahershala Ali) juga memberikan kekuatan performa maksimal di setiap kemunculannya. Poin utamanya, para karakter side kick berhasil menutupi kekurangan yang dihasilkan oleh 3 karakter utama dalam film ini. Jennifer Lawrence seperti biasa tidak mengecewakan, tapi tentunya karakter Katniss yang sangat loveable semenjak film pertama, mengalami degradasi kharismanya sehingga tidak terlalu banyak yang bisa J-Law lakukan selain berakting dengan maksimal (adegan meluapkan emosi di akhir film telah cukup membuktikan bahwa bukanlah sebuah kebetulan J-Law adalah pemenang Oscar serta Lionsgate beruntung Katniss diperankan oleh aktris berbakat seperti J-Law) dan fortunately, J-Law didn’t make Katniss to be the next Bella Swan.
Pada akhirnya, The Hunger Games: Mockingjay Part 2 tidak berhasil menjadi sajian penutup untuk sebuah franchise sebesar The Hunger Games. Kuat dalam action secquence, tetapi lemah dalam porsi drama serta pastinya percintaan, sehingga kok gw malah pengen ada part 3 nya?

                                                           6/10

 

 

“My dear, the Law doesn’t understand such things, it says either you knew or you didn’t.”- Nader

Plot

Menceritakan suatu pasangan yaitu Nader (Peyman Moaadi) dan Simin (Leila Hatami) yang memutuskan untuk bercerai setelah 14 tahun menikah. Alasan perceraian mereka adalah karena Nader menolak ajakan Simin untuk meninggalkan negara Iran dan hidup di luar negeri. Simin menilai negara Iran tidak baik dan sudah tidak kondusif untuk perkembangan anak mereka yaitu Termeh (Sarina Farhadi) yang berumur 11 tahun. Di sisi lain, penolakan Nader berlandaskan pada kondisi Ayahnya yang menderita penyakit Alzheimer. Sebagai anak yang taat kepada orang tua, Nader tidak bisa meninggalkan ayahnya seorang diri. Dan siapa yang menyangka bahwa konflik di antara mereka ini bisa memunculkan suatu konflik yang begitu sulit untuk diselesaikan di kemudian hari.



Review

Fyi, A Separation adalah penerima piala Oscar untuk kategori Film Asing Terbaik. A Separation juga mendapatkan berbagai macam pujian dari para kritikus, bahkan di situs Rotten Tomatoes dan Metascore, yang terkenal akan kritisnya para kritikus dan pelit memberikan penilaian (terutama Metascore), A Separation mendapatkan penilaian yang hampir sempurna (99% di Rotten Tomatoes dan 95 di Metascore). Bukti untuk menganggap A Separation adalah salah satu film terbaik yang pernah di buat telah lebih dari cukup, lalu apa yang menahan gw untuk tidak menonton film ini hingga tahun 2014? Sederhana, faktor bahasa. Jujur, ini adalah film Iran yang pertama kali gw tonton. Dan cukup sulit untuk membangun mood menonton untuk film asing selain film berbahasa Inggris dan Jepang, namun berkat dorongan teman gw untuk segera menonton film ini supaya gw gak nyesel (cukup aneh karena temen gw dapat film ini dari gw), akhirnya pun film ini pun gw jamah di Harddisc gw. Hasilnya? LUAR BIASA, LUAR BIASA, LUAR BIASA.
Gw gak menyangka apabila film yang berjudul asli Jodaeiye Nader az Simin ini bisa begitu powerfull serta sebagus ini, bahkan bagi gw nilai yang diberi Metascore (yang notabenenya udah hampir sempurna) masih kurang. Film ini layak untuk mendapatkan nilai lebih dari 95. A Separation adalah salah satu bukti bahwa untuk membuat film yang luar biasa gak perlu grafis visual tingkat tinggi, pemandangan indah, special effect, atau berbagai macam teknis film lainnya. Satu-satunya faktor yang sangat dibutuhkan sebuah film untuk memberikan impact yang gak terlupakan tidak lain adalah cerita. Sang sutradara, Asghar Farhadi, hanya mengandalkan naskah yang kuat serta dibantu oleh dukungan artis-artis nya yang juga bekerja dengan sangat baik sehingga tidak perlu waktu yang lama untuk A Separation mengikat kita semua karena di adegan pembuka saja Asghar Farhadi telah memberikan kita sebuah santapan perdebatan yang begitu intens di dalam ruang pengadilan (salah satu adegan favorit gw). Perhatikan juga berbagai pertukaran dialog antar karakter yang begitu cerdasnya sehingga menciptakan pertentangan antar karakter sangat hidup dan sangat menarik pula untuk diikuti.Konflik yang diangkat oleh Asghar Farhadi sendiri memang begitu dekat dan nyata untuk masyarakat. Bagaimana dari sebuah konflik perceraian bisa berimbas luas ke berbagai pihak. Tidak hanya merusak kehidupan Nader dan Simin, tetapi juga kehidupan Razier (Sareh Bayat) dan Hojjat (Shahab Hosseini). Oh, jangan lupakan juga bahwa konflik ini mengganggu keadaan psikis anak mereka masing-masing. See, sangat dekat sekali bukan dengan masyarakat pada umumnya? Dan hebatnya Asghar Farhadi berhasil membingkai jalinan cerita yang pada dasarnya sederhana menjadi sangat complicated dan begitu nikmatnya untuk dinikmati bagi penonton (Baiklah, maafkan kami yang menikmati konflik suatu perceraian). Banyak sekali hal yang disinggung oleh sang sutradara yang kabarnya pernah dicekal oleh Iran ini dalam film yang berdusari 2 jam ini. Seperti agama, keberadaan hukum, kebaktian sang anak kepada sang orang tua, kebohongan demi kepentingan pihak pribadi, dan masih banyak lagi, (bahkan menurut gw, sang sutradara juga menyinggung mengenai kondisi Iran kala itu) semua terangkum dengan tensi yang terjaga stabil hingga akhir film. Asghar Farhadi menyajikan semua konflik yang ada dengan jujur tanpa adanya kesan dipaksakan. Lihatlah keributan yang terjadi di dalamnya, lihat juga begitu taatnya Razier terhadap agamanya, semuanya di tampilkan sangat jujur seolah-olah sang penulis naskah sedang menceritakan pengalamannya.
Lalu bagaimana dengan karakter-karakter nya? Sekali lagi Asghar Farhadi memperlihatkan sebuah karakter yang manusiawi. Ya, tidak ada karakter “Putih” dalam film ini. Semuanya dalam ruang lingkup “Abu-abu”. Mari kita selami satu per satu, Nader adalah pria keras kepala (lihat adegan tanya jawab dengan sang anak dan scene di Pom bensin), ego atau harga diri yang begitu besar, sangat kukuh dengan pendiriannya sehingga jangan heran apabila ada penonton yang gregetan melihat karakter Nader. Sedangkan calon mantan istrinya Simin adalah tipikal wanita modern yang tidak ingin terlalu dikekang oleh nilai agama maupun sang suami (bisa dilihat dari cara berpakaiannya), jadi tidak heran apabila keinginannya untuk pindah dari Iran begitu kuat. Lalu ada Razier yang memiliki ketaatan terhadap agama yang sedang mengalami masalah perekonomian dikarenakan sang suami menganggur sehingga memaksakan dirinya untuk bekerja yang sebenarnya bertentangan dengan keyakinannya. Dengan latar belakang karakter-karakter seperti itu lah yang membuat kita, penonton, kesulitan untuk menyangkal setiap keputusan yang diambil oleh mereka. Bahkan mungkin sebagian besar dari penonton akan mendukung setiap keputusan yang telah diambil, bahkan dalam keputusan untuk berbohong sekalipun. Disinilah kita kembali diajak oleh Asghar Farhadi apa dampak dari sebuah kebohongan. Gw sangat menyukai ketika Asghar Farhadi memperlihatkan kepada kita bahwa satu kebohongan mampu menimbulkan dampak psikologis yang luar biasa bagi yang belum ‘berpengalaman’.

Dengan bermodalkan naskah yang kuat, berbagai karakter yang begitu menarik, serta dukungan para artis yang bermain gemilang, A Separation adalah sebuah drama yang begitu powerfull dan mampu mengajak penontonnya merenung seusai menonton film ini. Tanpa dukungan sinematografi yang “W-O-W”, musik latar di setiap adegannya, A Separation layak disandangi gelar Salah Satu Film Terbaik di tahun 2011, hell, one of the best movie i’ve ever seen.


                                                                   9/10


 


Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!