Friday 17 March 2017

"Lo bukan seorang legenda, lo bukan seorang ayah. Tapi orang tua yang cuma beraninya sama anak kecil"- Ishmael

Plot

Pria tanpa nama terbangun dari masa koma nya dalam kurun waktu 2 bulan. Pria tersebut tidak memiliki ingatan alias amnesia. Disebabkan permasalahan tersebut, seorang wanita muda calon dokter yang selama dua bulan merawat dan memperhatikan pria itu bernama Ailin (Chelsea Islan)  memberikan nama Ishmael (Iko Uwais) kepada pria itu, terinspirasi dari bacaan buku Moby Dick nya. Ishmael sendiri ditemukan tak sadar diri di pantai oleh nelayan tua bernama Romli (Yayu Unru) dengan luka di kepalanya. Sebelum tersadar, Ishmael sempat terngiang di ingatannya mengenai masa lalu nya, yang dari jauh mengintai secara diam-diam mengancam ketenangan Ishmael.




Review

Melihat kesuksesan luar biasa dari karya-karya nya Gareth Evans seperti Merantau dan dwilogi The Raid yang mampu mencapai pasar internasional, tidak salah memang banyak sekali para sineas yang ingin mengekor keberhasilan Evans dengan mengikuti treatment yang serupa. Bahkan ada beberapa sinetron yang juga tidak ketinggalan untuk menyelingi ceritanya dengan adegan aksi layaknya film The Raid. Maka bisa dipahami bila sebelum menyaksikan karya terbaru dari Mo Brothers ini telah banyak yang mengecap bahwa Headshot hanya sebuah carbon copy dari The Raid dan hanya dibuat sebagai langkah pengeruk uang semata. Tidak sepenuhnya salah memang karena Headshot diisi dengan bintang-bintang yang turut menghiasi The Raid: Berandal juga ikut ambil peran disini seperti Jullie Estelle, Zack Lee,Very Tri Yulisman dan tidak ketinggalan Iko Uwais yang tetap didapuk sebagai peran utama. Tidak hanya itu, staf-staf di belakang layar pun juga dipercaya untuk berkontribusi dalam hal teknis Headshot. Namun, percayalah bila Headshot tetap berbeda dan masih menunjukkan identitas dari Mo Brothers. Bila memang ada kesamaan, itu hanya kebetulan dikarenakan visi antara Gareth Evans dan Mo Brothers tidaklah jauh berbeda.

Bagi siapa yang telah mengikuti jejak karir Mo Brothers, mereka pasti telah mengetahui bila dua saudara ini memang sinting dalam memerankan unsur kekerasan. Rumah Dara dan Killers bisa menjadi bukti shahih betapa sakit dan jelinya dua sutradara ini mengemas adegan yang berdarah-darah. Tetapi berbeda dalam Killers (pencapaian terbaik Mo Brothers bagi saya) yang menunjukkan kekerasan tersebut sebagai pondasi dalam bercerita, Rumah Dara dan Headshot justru sebaliknya yang menjadikan cerita hanya sebagai pondasi untuk menyajikan hal tersebut sebagai bentuk persembahan kepada para penonton yang menyukai darah yang bercipratan, kulit terkoyak, serta tulang patah di dalam medio film. Dan Mo Brothers seolah tidak pernah kehilangan ide bila membicarakan bagaimana membuat adegan kekerasan yang bermuncratan darah yang kali ini mereka selipkan di dalam pertempuran antar karakter. Mungkin memang kembali akan mengingatkan kita kepada koreografi pertempuran yang ada di The Raid, namun tampaknya Mo Brothers sadar akan hal ini sehingga mereka pun berusaha untuk menyajikannya dengan cara yang berbeda. Seperti misal menyelipi setiap pertempurannya dengan senjata, tidak sepenuhnya tangan kosong, lalu ada juga pertarungannya dihiasi dengan hide and seek, juga tidak jarang pula slow motion hadir di tengah serunya pertarungan seolah mempersilahkan penonton mengambil nafas dengan tenang sejenak. Memang, adegan demi adegan pertarungan yang tersaji di dalam Headshot belum ada yang mampu meninggalkan kesan memorable seperti dalam karya-karyanya Gareth Evans, tetapi paling tidak usaha yang telah dilakukan patut diapresiasi. Apalagi memang dalam hal koreo nya kali ini, Iko Uwais tidak dibantu oleh kehadiran partner in crime nya, Yayan Ruhian. Fights yang ada juga semuanya keren, terutama Rama Vs Rika yang tidak hanya cukup kental akan emosi, juga dilengkapi dengan pemandangan pantai yang memanjakan mata. Julie Estelle pun kembali membuktikan dirinya sebagai aktris yang serba bisa dan tidak hanya jual tampang saja.

Mungkin kelebihan yang ada di Headshot yang tidak dimiliki hasil garapan Gareth Evans adalah mengenai dialog-dialog yang dilontarkan tiap karakter di dalamnya yang memang lebih "Indonesia", tidak seperti dalam dwilogi The Raid yang terasa kaku serta "unik" yang seringkali membuat penonton dari ibu pertiwi sendiri malah bingung apa yang dimaksud.

Usaha Mo Brothers untuk menggali lebih dalam di aspek cerita pun patut diberi acungan jempol, seperti hubungan Ishmael dan para pemburu yang mengincar nyawanya dengan sedikit suntikan flashback-flashback yang membuat karakter Ishmael juga lebih tereksplor serta memberikan sedikit asupan emosi tidak hanya kepada Ishmael juga musuh-musuhnya. Saya pun juga menyukai adegan simbolis yang ada di akhir cerita, meski adegan tersebut memang telah banyak hadir di perfilman, tetapi Mo Brothers mengemasnya dengan baik dan tidak terlihat kacangan. 

Walau begitu, tidak dipungkiri memang Headshot masih meninggalkan begitu banyak lubang yang menganga tanpa penjelasan. Entah memang itu dibiarkan tersimpan untuk membuka peluang Headshot akan digarap sekuelnya, saya tidak tahu. Dalam aspek drama antara Ishmael dan Ailin pun sangatlah tipis, seperti apa yang membuat Ailin begitu perduli kepada Ishmael pun tidak dijelaskan secara detil, tersirat pun tidak. Yang terlihat hanya lah Ailin menganggap Ishmael beda dari pasien lain akibat luka-luka yang dideritanya. Bila memang itu telah cukup untuk membuat dokter muda berparas bidadari seperti Ailin tertarik kepada pasiennya, saya yakin banyak laki-laki sehabis nonton Headshot rela akan melukai tubuhnya sendiri dengan parah supaya mampu bernasib serupa seperti Ishmael. Mengenai Iko nya sendiri saya yakin, banyak yang membuat para lelaki kesepian seperti saya akan rela berlatih bela diri demi mendapatkan posisi Iko seperti sekarang.


*brb belajar bela diri dan bocorin kepala*


Karakter Ishmael ini sebenarnya lebih baik bila dibandingkan peran Iko Uwais sebelumnya yaitu Rama, tetapi memang tidak bisa terbantahkan dalam hal porsi drama, Iko perlu belajar lagi. Terlebih lagi ketika diharuskan bertukar dialog percintaan dengan Chelsea Islan yang cukup cringeworthy dan membuat tidak nyaman sehingga saya gatal untuk mempercepat adegan mereka berdua, terutama adegan dibawah rintik hujan tersebut. Bukannya iri, malah merusak romansa yang ada. Saya juga telah lelah melihat karakter superman Iko Uwais yang sendirian mengalahkan semua lawannya, mengingatkan saya akan Roman Reigns di WWE (Goddamnit, I hate that character so much). Saya angkat topi juga untuk Chelsea Islan yang berani menutupi muka cantiknya dengan muka lebam serta darah. Karakter-karakter antagonisnya yang memang memenuhi narasi untungnya kebanyakan memiliki karakterisasi yang menarik. Favorit saya adalah Tejo yang diperankan dingin oleh David Hendrawan dan Bondhi yang diperankan cemerlang oleh Ganindra Bimo yang sukses menjadi spotlight di tiap kehadirannya.

7,75/10




Categories: , , ,

0 komentar:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!