Friday 29 September 2017


Menangis memang bukanlah suatu hal yang ingin kita perlihatkan di depan orang lain, terutama bagi pria dewasa. Namun namanya juga manusia yang tidak bisa mengendalikan hatinya, air mata yang hendak mengucur dari mata tidak akan bisa ditahan, apalagi bila perihal yang menyebabkan kita menangis adalah sesuatu yang begitu emosional, dan juga relatable dalam kehidupan, salah satu nya adegan-adegan yang terdapat di dalam film. Maksud hati ingin menghibur diri, namun jatuhnya malah film tersebut menggetarkan sanubari serta emosi yang tidak jarang memaksa kita untuk menangis haru, maupun bahagia. Berikut ini adalah 10 adegan film yang telah saya saksikan tentunya, dan tidak perduli telah berapa kali melihatnya, air mata saya pasti tumpah. And fuck you, I'll cry whenever I want.



BEWARE.. SPOILERS AHEAD!!!!!

10. Titanic- "There's no arrangement, isn't it?"





Saat menonton Titanic pertama kali, saya tidak membantah bila momen ketika Jack (Leonardo DiCaprio) tenggelam demi menyelamatkan Rose (Kate Winslet) lah yang membuat saya menangis. Namun, ternyata ada momen yang setiap kali saya melihatnya, saya tidak bisa menahan tangis. Dan momen itu adalah ketika Jack membujuk Rose untuk naik sekoci evakuasi di dekat mereka. Rose yang tidak ingin meninggalkan Jack, akhirnya bersedia untuk turun dengan menaiki sekoci tersebut berkat Jack yang mengiyakan kebohongan Cal bila Ia telah menyediakan tempat untuk Jack di sekoci yang lain. Jack sadar itu adalah kebohongan, namun demi hidup seorang wanita yang ia cintai, Jack merelakan kepergian Rose bila itu untuk keselamatan Rose, walau memang ia harus tetap terjebak di kapal Titanic. Momen ini berhasil menyentuh emosi karena, ya kita para pria pasti pernah berada di posisi Jack, dan juga soundtrack lembut My Heart Will Go On membantu mengaduk-aduk emosi penonton kala Jack melihat Rose turun perlahan-lahan di atas sekoci.

9. Requiem for a Dream-"It's a reason to get up in the morning"


Requiem for a Dream tak terelakkan adalah film yang gelap, tragis, dan menunjukkan akan kejamnya realita. Mimpi yang dibangun akan menjadi sia-sia bila diraih dengan jalan yang singkat, membuat Requiem of a Dream sangat cocok untuk mereka yang telah terjebak dalam dunia obat-obatan terlarang. Film yang begitu depresif ini rupanya memiliki satu adegan yang berhasil memaksa penontonnya mengucurkan air mata, saat Ellen Burstyn yang memerankan Sara Goldfarb melakukan monolog di depan Jared Leto yang sebagai Harry, sang anak. Apabila kalian seketika mengingat perjuangan seorang ibu saat adegan ini, rasanya mustahil untuk tidak menangis melihat kepedihan serta kesedihan yang dirasakan Sara kala berbicara. Belum lagi membicarakan akting luar biasa dari Ellen Burstyn yang bahkan membuat sang sinematografer Matthew Libatique harus meninggalkan kamera karena menangis selama take berlangsung. Sebenarnya dengan adegan ini saja telah layak menghantarkan dirinya meraih gelar Academy Awards kategori Best Actrees pada saat itu. Whatever you do, whatever your job, don't ever abandon your parents. Especially your mama.


8. The Sixth Sense-"Do..Do I make..her..proud?" 



Twist ending dalam film The Sixth Sense jelas yang paling banyak dibicarakan, walau sebenarnya di dalam The Sixth Sense juga terdapat beberapa momen spesial yang turut mengangkat film yang membuat sang sutradara M. Night Shyamalan dianggap sebagai "the next big thing" saat itu. Salah satunya adalah adegan ini, saat Cole berbicara empat mata dengan sang ibu, Lynn, di dalam mobil. Cole yang bisa melihat "the dead people" menceritakan kepada Lynn bila sang nenek sebenarnya menyaksikan Lynn mengikuti kontes menari saat Lynn masih kecil. Lynn yang selama ini menganggap ibunya tidak hadir, mulai memerhatikan Cole dan tidak mampu menahan rasa haru nya. Tangisnya membuncah kala Cole menyampaikan pesan dari sang nenek bila ia menjawab pertanyaan yang Lynn ajukan kala ia mengunjungi pemakaman ibunya. Cole mengungkapkan sang nenek menjawab "everyday". Di adegan ini pula tampak kejeniusan Shyamalan dalam meracik sebuah adegan, dengan tetap memperhatikan kamera fokus di ekspresi Tony Collette yang perlahan-lahan mulai mengeluarkan air mata, diiringi dialog yang dibawakan Haley Joel Osment.

7. Good Will Hunting-"It's not your fault"


Memiliki pengalaman masa kecil yang tidak menyenangkan akibat ayah tirinya membuat Will Hunting (Matt Damon) memiliki watak yang keras dan seenaknya, sehingga bakat yang ia miliki seolah tidak bisa ia manfaatkan dengan baik. Bahkan kehadiran ahli psikologi yang memiliki pengalaman yang sama dengan Will, Sean (Robin Williams) tidak begitu memperbaiki keadaan, walau dengan hanya Sean lah, Will akhirnya merasakan kenyamanan. Sampai ketika momen Sean yang akhirnya mengetahui secara utuh apa yang sebenarnya dialami oleh Will. Sean tidak menasihati Will dengan ilmu yang ia pelajari, hanya mengucapkan kalimat "It's not your fault". Will yang mungkin telah bosan dengan kalimat itu, hanya menjawab seadanya. Namun, Sean terus-terusan mengulangi kalimat itu sambil mendekati Will dengan perlahan. Dengan perlahan pula, Will yang kita lihat sebagai pria yang kasar, mulai bergetar, dan dengan pelukan dari Sean, akhirnya untuk pertama kali kita melihat Will menangis, dan mencurahkan segala rasa sakit yang pernah ia rasakan.

6. Inside Out-"Take her to the moon for me"


Ah, Pixar. Mencomot satu dari sekian banyak adegan sedih di dalam film-film yang diproduksi Pixar tentu bukanlah pilihan yang muda, seperti perjuangan Wall-E demi Eve dalam Wall-E (my favorite movies from Pixar), perpisahan Andy dan Woody di Toy Story 3, atau opening UP yang terkenal itu, semuanya bisa masuk dalam list ini, tetapi demi mengasih kesempatan untuk film yang lain, saya pun dengan terpaksa harus memilih salah satu saja, dan pilihan saya jatuh pada the most saddest death scene in 2016, yaitu Bing Bong. Bing Bong lebih dari sekedar gajah berkulit merah muda (yang mengingatkan saya akan Bobo, you still remember him, right?), namun Bing Bong adalah bagian dari masa kecil Riley. Ya, Bing Bong adalah teman imajinasi Riley di masa balita yang senantiasa menemani Riley bermain, dan mereka berdua memiliki impian untuk mengunjungi bulan bersama-sama. Adegan kematian Bing Bong ini menjadi sangat powerful adalah karena dengan adanya adegan ini, Pete Docter dan Ronnie Del Carmen mengajak kembali para penonton dewasa seperti saya untuk kembali ke masa kecil, dan mengingat betapa banyak kenangan yang terlupakan akibat semakin bertambah umur. Kematian Bing Bong juga merupakan bentuk simbolis bila untuk merasakan kebahagiaan, kita harus tetap maju melangkah dengan mengorbankan segala kenangan-kenangan yang pernah kita alami. God, I'm crying while I'm typing this.

5. I am Legend- Sam's Death


Film I am Legend yang dibintangi aktor favorit saya, Will Smith, ini sering dikritik akibat endingnya yang mengecewakan, namun bukan berarti I am Legend adalah film yang jelek, bahkan saya cenderung menyukainya. Film yang menceritakan kisah perjuangan tunggal seorang Robert Neville (Will Smith) dalam bertahan hidup di kota New York yang telah mati ini memiliki satu adegan emosional, yaitu ketika Neville harus membunuh anjingnya, Sam, karena telah terjangkit virus yang membuat makhluk hidup menjadi buas dan memburu manusia. Adegan ini emosional karena selepas kematian istri serta anaknya, praktis Sam adalah satu-satunya anggota "keluarga" Neville yang tersisa dan menjadi lebih ironis lagi Neville harus membunuh Sam dalam dekapannya, setelah Sam melaksanakan tugas yang dibebankan dari sang putri, yaitu melindungi sang ayah. Akting prima pun ditampilkan Will Smith kala kamera memfokuskan pada ekspresinya. Tidak tega, serta hati yang hancur jelas terpancar dari ekspresi mukanya sehingga penonton pun ikut merasakan kesedihan yang dialami Neville.

4. The Dark Knight Rises- "I've buried enough members of the Wayne family"


Di Batman Begins, kala Bruce Wayne a.k.a Batman (Christian Bale) ingin menyerah karena merasa telah gagal untuk melaksanakan tujuannya, sang pelayan yang telah setia merawat Bruce dari kecil hingga dewasa, Alfred yang diperankan Michael Caine, mengucapkan kalimat yang ia petik dari ayahnya Bruce, yaitu "Why do we fall, sir? So we can learn to pick ourselves up". Bruce tersenyum, dan menanggapi dengan "You still haven't given up on me? Alfred pun hanya menjawab, "Never". Ya, kita semua telah mengetahui bila hanya Alfred lah satu-satunya orang yang akan terus setia mendampingi Bruce... paling tidak ketika sekuel ketiganya muncul. Ya, mungkin sebagian besar penggemar Batman tidak menyangka adegan ini akan muncul dalam trilogi klasik nya Nolan ini. Bruce yang sempat mempesiunkan selama diri 8 tahun akibat sebelumnya memutuskan untuk menjadikan Batman sebagai tumbal atas kematian the White Knight, Harvey Dent (Aaron Eckhart), akhirnya merasa dirinya harus kembali lagi mengenakan jubah Batman untuk mencegah tindakan terorisme yang dilakukan Bane (Tom Hardy). Alfred yang merasa tuannya tidak akan memiliki cukup kekuatan untuk menghadang Bane, mencoba untuk mencegah Bruce kembali menghidupkan kembali Batman. Namun, Bruce tetap kekeh akan keputusannya. Melihat nasihatnya tidak diindahkan, Alfred pun memutuskan untuk meninggalkan Bruce. Dan percakapan di antara mereka lah yang begitu emosional. Tidak ada soundtrack berlebihan, hanya memperlihatkan dua karakter yang kita telah investasikan rasa perduli kita dan ingin melihat terus bersama-sama. Turut pula akan penampilan yang heartbreaking dari Michael Caine, dan ketika ia sesunggukan menahan tangis kala berbicara, disitu juga ia membuat sebagian besar penonton ikutan menangis.

3. Warrior-"Where were you when it mattered?"


Tiga karakter utamanya diperankan oleh pria-pria dewasa, dan ceritanya bersentuhan dengan dunia MMA (mixed martial arts). Mengetahui itu, mudah bila menganggap Warrior adalah jenis film yang keras juga hanya menampilkan kekerasan. Namun rupanya dalam durasi 140 menit nya, sutradara Gavin O'Connor menyelipkan antar ayah dan dua anaknya yang pelik dan mengaduk emosi. Satu adegan yang selalu membuat rasa haru memuncak adalah ketika Tommy (Tom Hardy) membentak sang ayah, Paddy (Nick Nolte) di suatu kasino dan menganggap Paddy adalah seorang pengemis. Mudah menganggap Tommy melakukan hal yang salah, namun dari kisahnya yang pada masa kecil selalu mengalami kekerasan dari Paddy yang saat itu masih lah seorang alkoholik, kita bisa mengerti akan tindakan nya yang dilandasi kebencian, namun juga kita tahu bila Tommy masih menyimpan rasa sayang kepada sang ayah. Dari ceritanya saja telah menunjukkan kompleksnya satu adegan ini, dan tidak ketinggalan juga mengaduk emosi. Ditambah lagi, facial expression dari Nick Nolte yang menunjukkan penyesalan akan apa yang telah ia lakukan di masa lalu serta merasa apa yang ia lakukan untuk memperbaiki hubungannya dengan Tommy yang telah dewasa melalui memperbaiki diri dengan cara berhenti minum-minuman alkohol serasa sia-sia. Menyakitkan sekali saat melihat Paddy yang telah termakan usia berjalan perlahan meninggalkan Tommy, yang segera saja menyesali akan ucapan dan tindakannya yang kasar. Hal itu pula ditunjukkan adegan setelah nya di adegan hotel saat ia menenangkan Paddy yang tengah menegak minuman keras, yang membuktikan bila dibalik setiap tindakan tidak sopannya kepada Paddy, Tommy masih menyayangi ayahnya tersebut.

2.  Terminator 2: Judgement Day-"There's one more chip"




Terminator 2 atau T2 menjadi sajian yang spesial bukan hanya karena adegan-adegan aksinya yang berkelas serta desain karakter T-1000 yang futuristik dan masih terlihat menakjubkan bahkan ketika dilihat di zaman sekarang, namun juga berkat hubungan ayah dan anak yang terjalin antara T-800 (Arnold Schwarzenegger) dan John Connor (Edward Furlong). Siapa yang menyangka bila penonton akan perduli dengan penuh pada mereka berdua dan mencintai akan hubungan mereka, yang tak terlepas dari faktor chemistry antara Arnold dan Edward Furlong. Dari sisi karakter saja, mereka memang berlawanan, namun bisa saling mengisi satu sama lain. T-800 yang merupakan seorang robot jelas saja kaku dan tidak mengerti akan manusia, dan di sisi lain John adalah remaja yang lagi masa puber serta sedang asyik-asyiknya menikmati hidup, namun kehilangan sentuhan seorang orang tua. Berbagai momen kedekatan mereka, seperti saat John yang mengkritisi terlalu formalitasnya T-800 lalu mengajarkan kalimat terkenal yaitu hasta la vista, baby, kemudian momen kecil kala John menggoda T-800 saat melakukan high five. Semua adegan kedekatan yang bertujuan untuk memberikan sentuhan humanisme kepada T-800 ini tak dinyana membuat penonton menyukai hubungan ayah-anak diantara mereka berdua. Dan tibalah endingnya bisa dikatakan sangat powerful itu. Setelah berhasil mengalahkan musuh utama, T-1000 dengan susah payah, John dan sang ibu, Sarah (Linda Hamilton) menganggap semuanya telah usai. Namun, T-800 mengingatkan bila ada satu chip lagi yang harus dihancurkan, dan chip tersebut berada di bagian otaknya. John yang telah menyukai T-800 jelas tidak menyetujui rencana itu. Namun keselamatan umat manusia dan mencegah perang manusia melawan robot, hal itu harus dilakukan. Adegan ini tentu saja tidak diantisipasi oleh penonton, dan kita yang telah merasakan akan kedekatan diantara mereka berdua, sama seperti John, kita tidak ingin T-800 musnah. Tangisan yang dikeluarkan John pun bagaikan mewakili tangisan jutaan pasang mata yang turut juga merasakan kesedihan John. Musik ciri khas Brad Fiedel pun mengiringi kala T-800 dengan turun perlahan untuk tenggelam dalam kawah api, sambil memandangi Sarah dan John. Adegan emosional ini pun ditutup dengan momen ikonik thumbs up yang entah sampai kapanpun akan tetap selalu terkenang.

1. Pursuit of Happyness-"Wear one tomorrow, though, okay?"




Yap, kembali film yang dibintangi dari Will Smith. Film yang merupakan kisah nyata perjuangan seorang Chris Gardner dari homeless person menjadi millionaire. Kita menjadi saksi bagaimana Chris serta anak nya, Christopher (Jaden Smith) jatuh bangun untuk bertahan hidup. Walau sebenarnya ia memiliki daya intelejensi di atas rata-rata dan juga giat, namun Chris seperti dijauhi oleh dewi keberuntungan sehingga setiap usaha yang ia lakukan tampak sia-sia. Hingga ketika film akan selesai, akhirnya kita melihat Chris mendapatkan hasil dari jerih payah yang ia lakukan selama menjadi broker magang. Ditinggali sang istri yang tidak mampu bertahan kala kondisi ekonomi mereka sedang jatuh-jatuhnya, mengasuh Christopher diiringi berusaha menjual bone density scanner yang dimilikinya, terus-terusan berlari demi mengejar waktu yang baginya sangat berharga demi kebahagiaan, hingga terpaksa tidur di dalam toilet akibat tidak mampu membayar sewa uang rumah. Segala penderitaan serta keringat nan air mata akhirnya terbayar lunas, yang membuat adegan Chris diterima bekerja sungguh powerful, ditambah juga akting luar biasa dari Will Smith kala mendengar ia menjadi broker tetap. Tanpa sepatah kata terucap, cukup dengan ekspresi muka yang tak menentu, seolah menahan kebahagiaan dan juga haru mengingat perjuangan jerih payahnya, dan air mata yang mengalir tiba-tiba di pipinya. Mengapa saya memilih ini adalah momen dalam film yang paling sering memaksa saya untuk menangis? Kisah yang begitu dekat serta relatable dalam kehidupan, membuat adegan ini berhasil menjadi adegan tersedih yang terus mengaduk emosi setiap kali melihatnya. Just watch the movie and you will feel the same like me.
"This part of my life.. This...little part..called happiness"

Itulah 10 adegan dalam film yang sering kali tidak bisa saya lewatkan tanpa mengucurkan air mata. Pilihan diatas sangatlah subjektif dan pastinya kalian memiliki pilihan tersendiri. Sekedar berbagi, ini adalah postingan tersulit sejauh ini. So tell me, do you crying?

Tuesday 26 September 2017



"There is nothing a man cannot do once he accepts the fact that there is no god"- Norman


Plot

Merasa kurang cukup akan hasil rampokan mereka selama ini, Money (Daniel Zovatto) mengajak rekan , Rocky (Jane Levy) yang juga sekaligus kekasih dari Money, serta Alex (Dylan Minette) untuk merampok pria yang telah dimakan usia, Norman (Stephen Lang). Berdasarkan informasi yang didapat, pria yang merupakan seorang veteran perang tersebut memiliki uang $300,000 di kediamannya. Dari perampokan yang mereka lakukan selama ini, kesempatan merampok kali ini mereka kira adalah perampokan yang bisa berjalan lancar karena calon korban hanya tinggal sendiri serta kondisi kebutaan yang dialaminya. Dengan tujuan utama untuk membawa sang adik ke California, Rocky jelas tergoda dengan tawaran tersebut dan tidak butuh waktu lama untuk dirinya menyetujui tawaran dari Money, berbeda dengan Alex yang tidak menyetujui akan ide perampokan uang yang bisa mengantarkan mereka ke jeruji besi dengan waktu yang cukup lama.





Review

Tentu mudah mengekspektasikan karya Fede Alvarez ini akan menjadi sebuah film bertemakan home invasion seperti yang lainnya. Terutama dengan kenyataan kondisi calon korban yang tampaknya tidak akan melakukan perlawanan akibat dari kehilangan penglihatan. Disinilah juga kelihatannya Alvarez perlu melakukan inovasi dalam karyanya ini, dengan mengubah posisi pelaku perampokan malah menjadi korban di kandang tuan rumah sendiri. Ya, Don't Breathe kembali membawa suatu keasikan kala ekspektasi yang rendah serta tidak mengetahui sama sekali jalan ceritanya akan membawa berkah berkali-lipat setelah menontonnya disebabkan keseruan yang tak terkira juga memaksa penontonnya untuk tenggelam akan situasi yang dialami 3 anak muda yang malang ini akibat terlalu meremehkan kondisi yang dialami calon korban mereka.

Durasinya sangat singkat, hanya 88 menit, tapi percayalah 88 menit itu akan menjadi pengalaman yang menyenangkan, melihat 3 karakternya yang bersusah payah untuk menghindari serbuan sang pemilik rumah yang bagaikan seorang monster yang mengamuk kala waktu tidurnya terganggu akibat "keusilan" orang misterius. Stephen Lang berhasil menjadi pusat perhatian berkat penampilannya sebagai Norman yang sangat meyakinkan sebagai pria buta yang tetap dalam kondisi prima untuk mempertahankan rumahnya. Mudah saja karakter yang dimainkan Lang ini adalah salah satu karakter terbaik di tahun lalu. Simpati dan dukungan tentu mudah kita sumbangkan kepada pria ini. Dan wajahnya yang dipenuhi brewok serta keadaan matanya yang dihiasi pupil berwarna putih menambah kadar keseraman si blind man.

Tidak perlu waktu yang lama untuk Alvarez menggedor jantung dan memaksa para penonton untuk ikut-ikutan menahan nafas seperti 3 "korban" disini. Kala the blind man terbangun dari tidurnya, disitulah teror dimulai. Suasana yang penuh akan kegelapan serta kesunyian betul-betul dimanfaatkan Alvarez untuk melakukan parade teror, dari kejar-kejaran dalam kegelapan, maupun usaha kabur salah satu karakter lewat ventilasi sempit yang dimasuki anjing peliharaan Norman yang sangat buas. Bisa dibilang hampir semuanya tidak ada yang mengecewakan dan berhasil memacu adrenalin.

Alvarez memang tampaknya memfokuskan Don't Breathe akan jalinan teror dalam rumah yang kecil itu, terbukti Alvarez sangat sedikit dalam menyuntikan backstory pada ketiga karakternya. Praktis hanya Rocky yang secara gamblang motivasinya mengapa ia rela melakukan perampokan dan tanpa berpikir panjang lagi menerima tawaran dari Money. Memang itu saja telah cukup untuk setidaknya penonton ikut mengalami apa yang dirasakan ketiga karakter, namun itu karena pembawaan suasana yang ada, bukan karena penonton simpati kepada mereka bertiga, karena berdasarkan situasi saja, mereka bertiga telah salah. Ditambah karakter Norman ini sangat keren dan susah untuk menolak pesonanya. Buta, namun memiliki fisik yang masih kuat, gesit serta intimidatif. Hingga ketika twist yang cukup disturbing hadir di pertengahan film, penonton tetap susah untuk menarik dukungan mereka terhadap Norman.

Don't Breathe sebenarnya mengandung banyak sekali pertanyaan bila ditilik dari nilai logika, seperti yang cukup mengganggu adalah bagaimana Norman tidak menyadari keberadaan Alex di awal-awal yang berada tepat disampingnya, padahal tidak lama dari itu, diketahui bila Norman juga memiliki indra penciuman yang sangat tajam dan masih banyak lagi. Tapi toh penonton telah terhibur dan kesusahan bernafas sehingga semua itu baru tersadar ketika Don't Breathe berakhir. Mengenai endingnya sendiri Alvarez ingin memperlihatkan ketidak adilan yang sering terjadi di dunia. Jujur, saya sedikit kesal dengan ending nya.

7,75/10

Monday 25 September 2017



"So, to fully know I love someone, I have to cheat on them?"- Kumail


Plot

Kumail (Kumail Nanjlani) merupakan pemuda Pakistan yang besar di negara Amerika bersama dengan keluarganya. Kumail sendiri berprofesi ganda dalam kehidupan sehari-hari. Pertama dia adalah driver online, dan ketika malam hari, ia rutin mengisi pertunjukan stand up comedy di suatu klub. Walaupun Kumail menyandang status sebagai umat Islam, namun rupanya Kumail jarang sekali beribadah dan hal ini ia sembunyikan dari keluarganya yang sebaliknya malah sangat taat dengan ajaran agama serta tradisi adat Pakistan, seperti pernikahan haruslah dilakukan melewati sebuah perjodohan. Kumail tidak menyukai peraturan itu, namun dengan alasan menyayangi keluarganya, Kumail bersedia menemui setiap wanita pilihan sang ibu untuk dijodohkan kepada Kumail. Di suatu kesempatan ia tengah melakukan stand up comedy nya, Kumail diganggu (atau bahasa stand up nya adalah hackle, salah satu hal paling dilarang yang ditujukan kepada penonton dalam dunia stand up) oleh mahasiswi bernama Emily (Zoe Kazan). Dari interaksi singkat mereka, Kumail tertarik dengan Emily dan bisa ditebak mereka pun melakukan kencan one night stand, tanpa mengira bila itu adalah awal dari kisah percintaan mereka yang rumit.






Review

Sama seperti sebagian besar pengguna internet, saya pun telah lama meninggalkan dunia pertelevisian dan berpindah ke platform yang bernama Youtube. Tidak lama ini, saya menyaksikan video dari channel yang saya subscribe juga, yaitu h3h3 production. Pemilik channel tersebut, Ethan dan Hila Klein menanggapi sebuah video kissing prank yang mengklaim melakukan kegiatan kissing prank terhadap para wanita Islam. Video yang secara langsung melecehkan seluruh muslimah di dunia itu tentu saja menarik perhatian para warganet, dan untungnya dari yang saya baca di post komentar, sebagian besar membela kaum muslim, walau saya yakin pasti ada yang berkomentar miring terhadap perempuan muslim. Namun, yang membuat saya tertarik dan merasa perlu meninggalkan komentar adalah mengenai beberapa komentar yang intinya berbunyi kalau Islam adalah agama yang melarang umatnya untuk berpacaran karena ada suatu momen di video itu, perempuan yang dibayar untuk bersedia mengorbankan bibir mereka untuk dicium oleh pemilik video itu mengatakan bila dia telah memiliki kala si prankster sampah itu mencoba mendapatkan nomor dari sang perempuan, setelah sebelumnya perempuan yang satu lagi (di video itu melibatkan 3 perempuan) bilang kepada prankster bahwa mereka dilarang untuk berpacaran. Saya pun mengomentari salah satu komentar yang bernada seperti tadi dan mencoba meluruskan bahwa Islam memang melarang umatnya untuk berpacaran, namun bukan berarti umat Islam menaati peraturan tersebut. Mengapa saya merasa perlu meluruskan ini? Karena saya ingin pandangan dunia terhadap umat Islam itu keliru, dengan menganggap kalau umat Islam itu adalah manusia yang seolah tidak pernah berbuat dosa, dan ingin mereka melihat kami (umat Islam) sama seperti penganut agama lainnya. Pandangan-pandangan ini lah yang sering kali bila terjadi aksi teroris yang mengatasnamakan Islam, mereka pun akan menyerang agama Islam, bukan kepada pelakunya. Pengalaman inilah yang membuat saya merasakan bila film seperti The Big Sick ini perlu ditonton untuk meluruskan penilaian yang keliru ini. Sebuah kisah cinta nyata yang dialami oleh sang aktor utama, Kumail Nanjiani, yang turut melibatkan sedikit berkenaan akan kultur serta agama Islam.

Naskah yang juga dikerjakan oleh Kumail sendiri yang dibantu juga istrinya, Emily V. Gordon mengambil pilihan tepat yaitu memfokuskan kisah ini pada percintaan, dan segala hal referensi mengenai dunia Islam disini dimaksudkan sebagai bumbu konflik yang menghalangi kisah percintaan mereka. Gejolak batin seorang Kumail dimulai kala Emily mengidap penyakit misterius dan harus koma di rumah sakit, Rasa cinta yang sempat memudar kembali tumbuh setiap saat melihat wanita yang sempat singgah di hati terbaring tak berdaya dengan beberapa peralatan medis menempel di tubuh untuk mempertahankan nyawa Emily. Momen inilah yang mengharuskan Kumail memilih apakah ia harus mengikuti rasa cintanya, dengan mengorbankan keluarganya yang mewajibkan Kumail untuk menikah pula dengan wanita muslim, terutama yang berasal dari Pakistan. Apa yang saya suka adalah, Kumail dan Emily sama sekali tidak menyerang atau menyalahkan peraturan yang telah ditetapkan dalam agama Islam, namun lebih kepada penganutnya. Seperti yang saya tulis di bagian sinopsis bila Kumail menganut agama Islam namun tidak melakukan ibadah wajib seperti Shalat. Bukannya sebagian besar kita seperti itu, baik umat Muslim ataupun umat agama lainnya? Hal inilah yang saya rasa The Big Sick merupakan film yang diperlukan untuk mereka yang masih menilai umat Islam itu tidak pernah berbuat dosa. Intinya adalah, bila umat Islam melakukan dosa, baik besar ataupun kecil, ya salahkan orangnya, jangan ke agamanya.

Perbedaan kultur yang sangat signifikan ini tentu adalah rintangan terbesar dalam kisah cinta Kumail dan Emily. Kumail menyukai dan bahkan mencintai Emily, namun hal itu tidak lantas membuat Kumail untuk mengabaikan keluarganya. Kumail tidak ingin mengecewakan keluarga, terutama sang ibu, yang bisa mengakibatkan Kumail tidak akan pernah lagi dianggap sebagai bagian dari keluarga. Di sisi Emily yang awalnya sama sekali tidak mempermasalahkan perbedaan yang ada di antara mereka, merupakan gadis muda yang pernah mengalami kegagalan cinta di pengalamannya. Kala ia mulai jatuh cinta juga kepada Kumail, Emily pun berharap bila Kumail tidak mengajak dirinya untuk kembali akan pengalaman pahitnya tersebut. Mudah sekali mendukung hubungan Kumail-Emily setelah melihat chemistry yang kuat antara mereka berdua, ditambah baik Kumail dan Emily sama-sama memiliki karakter yang menyenangkan. Kumail adalah pria yang sarkastik, cerdas, dan sebagai kaum minoritas, dirinya tidak mudah tersinggung apabila ada yang mendiskriminasi dirinya. Bahkan diperlihatkan pada awal-awal, Kumail menjadikan ciri khas yang ada di Pakistan sebagai bentuk materi stand up nya. Sementara Emily yang diperankan dengan baik sekali oleh Zoe Kazan tidak jauh berbeda dengan Kumail yang juga jago dalam melontarkan candaan dalam setiap pembicaraan, dan memiliki magnet untuk seorang pria segera mendekati dan berbincang lama-lama dengan Emily. 

Tentu film ini tidak hanya diisi dengan kisah cinta Kumail-Emily, karena praktis ketika Emily harus dirawat, naskah berpindah ke proses masuknya Kumail dalam kehidupan sebenarnya Emily berkat kehadiran orang tua Emily, Terry (Ray Romano) dan Beth (Holly Hunter). Tidak hanya Kumail belajar banyak mengenai Emily dari mereka berdua, namun juga terdapat suntikan pelajaran mengenai cinta dan sayang ke dalam diri Kumail dari hubungan yang ternyata memiliki kompleksitas tersendiri dalam hubungan Terry dan Beth, dan interaksi mereka menciptakan beberapa momen komedi, seperti nasihat ngawur yang diberikan Terry kepada Kumail, namun juga ada sisi dramatis terutama berkenaan hubungan Terry dan Beth. Memang, hubungan Kumail dengan Terry dan Beth sedikit mendominasi dibandingkan interaksi antara Kumail beserta keluarganya, namun untungnya sang sutradara, Michael Showalter jeli akan hal ini dan memanfaatkan screentime dari tiap anggota keluarga Kumail dengan optimal lewat beberapa ciri khas dan momen kocak, seperti sang ibu Sharmeen (Zenobia Shroff) yang selalu memakai cara yang sama dalam usahanya menjodohkan Kumail dengan wanita-wanita yang akan dijodohkan dan yang paling memorable ketika momen awkward saat keluarga Kumail menunggu kedatangan Kumail yang akan dijodohkan. 

Karena naskahnya sendiri berdasarkan pada kisah cinta nyata yang dialami Kumail-Emily maka tidak heran jika kisahnya sendiri diperlihatkan dengan realistis. MAJOR SPOILER HERE: seperti kala Emily yang akhirnya sadar dari koma panjangnya. Melihat segala pengorbanan yang dilakukan Kumail dan disaksikan langsung oleh Terry dan Beth, mudah bila penonton akan mengira hati Emily akan luluh dan bersedia kembali jatuh di pelukan Kumail. Namun kenyataannya tidak. Rupanya koma yang panjang tidak cukup mampu untuk melupakan segala rasa sakit yang terasa sebelumnya. Momen saat Kumail ditolak dua kali oleh Emily itu sangat powerful karena sebelumnya Kumail terlibat perdebatan intens dengan kedua orang tua nya, yang mengakibatkan Kumail tidak dianggap lagi kehadirannya dalam keluarga. Showalter pun tidak menampilkan momen ini dengan berlebihan dan terlihat apa adanya, bahkan bila saya tidak salah, tidak ada soundtrack yang mengiringi dua momen pahit itu dan murni Showalter mengandalkan dua artisnya di layar dengan memfokuskan ekspresi yang dikeluarkan oleh keduanya.

Apa yang telah Kumail putuskan di akhir itu benar atau salah, jawabannya diserahkan kepada penonton. The Big Sick mengajak kita untuk melihat seorang individu yang mengambil keputusan berdasarkan apa yang dipercayainya. Sebuah film yang tepat untuk mencerahkan penonton yang masih mengaitkan kesalahan yang dilakukan manusia dengan agama yang dianutnya. Cinta, keluarga, serta benturan kultur budaya berbeda, semuanya menjadi permasalahan konflik dalam durasi 120 jam nya dan diakhiri juga dengan sebuah akhir yang adil juga manis. Bertambah lagi satu film dalam list film favorit saya di tahun 2017.

8,75/10

Saturday 23 September 2017


"Beep Beep Richie"- Pennywise

Plot

Liburan musim panas yang seharusnya menyenangkan malah menjadi sebuah petualangan yang menyeramkan untuk tiap anggota The Losers' Club, yang terdiri dari Bill (Jaeden Lieberher), Richie (Finn Wolfhard), Eddie (Jack Dylan Grazer), Stanley (Wyatt Olef), Mike (Chosen Jacobs), Ben (Jeremy Ray Taylor) dan satu-satunya anggota perempuan dalam klub tersebut yaitu Beverly (Sophia Lillis). Liburan mereka menjadi mimpi buruk akibat kehadiran sosok badut yang sama sekali tidak lucu yang menami dirinya sendiri sebagai Pennywise (Bill Skarsgard) yang memanfaatkan ketakutan di dalam diri seseorang. Pennywise sendiri merupakan badut yang digambarkan tinggal di dalam saluran pembuangan dan hobi mengajak para korbannya ke tempat tinggalnya tersebut. Seolah teror dari Pennywise belumlah cukup, ketujuh anak yang merasa diri mereka seolah terpinggirkan ini pun juga harus menghadapi teror bully yang kerap dilakukan oleh Henry (Nicholas Hamilton) dan persoalan personal masing-masing, seperti Bill yang masih belum menerima akan kematian Georg (Jackson Robert Scout) yang juga merupakan salah satu dari sekian banyak korban yang telah jatuh di tangan Pennywise dan Beverly yang senantiasa menerima perlakuan tidak senonoh dari sang ayah kandung.





Review

I wanna put this out first that I never read the main source, Stephen King's It. Jadi, untuk membandingkan apakah It versi Andy Muschietti ini setia berpijak pada sumber nya atau tidak jelas diluar dari kemampuan saya. Maka, ulasan ini murni saya tulis berdasarkan dari pengalaman menonton yang barusan saya dapatkan. Saya pun juga baru menyadari bila ternyata karya dari penulis novel horor yang telah beberapa kali karya penulisannya diangkat dalam media film ini pernah dibuat dalam tv series. Saya yang benar-benar buta dengan kisahnya ini pun lumayan terkejut saat Muschietti membuka filmnya dengan momen yang mencekam nan sadis dan yang lebih mengejutkan lagi adalah momen itu melibatkan anak kecil! Momen saat Pennywise hadir dari sela kecil sewer itu tampaknya akan menjadi kandidat unggulan bila membahas momen film paling memorable pada tahun ini.

Opening itu tentu dihadirkan Muschietti dengan menyelipkan pesan kepada penonton bila anak kecil bukan menjadi jaminan mereka akan diperlakukan spesial di dalam film ini, yang mana tipikal film horor bila anak kecil biasanya akan bernafas lega dan hidup bahagia selepas teror berakhir. Mereka tetap berpotensi menjadi korban, dan bisa saja kematian yang menjemput mereka akan sama mengenaskannya seperti yang dialami George. Setelah gebrakan yang di awal itu, Muschietti yang dibantu oleh Chase Palmer dan Cary Fukunaga yang berbagi tugas dan tanggung jawab dalam hal naskah ini mengendurkan sejenak gas pol di awal dengan mengajak penonton berkenalan dengan tiap-tiap anggota dari The Losers' Club. Dari ciri khas, interaksi antar karakter yang terlihat natural, permasalahan yang dihadapi baik dalam kelompok maupun pada ruang lingkup pribadi dan tidak ketinggalan ketakutan dari masing-masing karakter. Pendekatan ini jelas perlu untuk menciptakan koneksi antara mereka dan penonton, dan itu berhasil. Buktinya, saya selalu mengharapkan setiap anggota akan berakhir dengan selamat dari teror-teror yang dihadirkan Pennywise. Hal ini merupakan hal yang cukup langka dalam dunia perfilman, karena kebanyakan karakter cilik dalam film itu biasanya menyebalkan akibat dari sikap mereka yang rewel serta seolah begitu dilindungi dari setiap aktivitas teror dari sang villain dilakukan. Dalam film It, itu sama sekali tidak terjadi. Memang masih ada satu karakter yang cerewet, namun itu didukung dengan sebuah motif yang mampu membuat penonton setidaknya memahami. Tidak ada sama sekali yang tenggelam, walau memang pusat karakter di pegang oleh Bill. Belum lagi mengenai interaksi mereka yang terlihat alami dan begitu dinamis. Tidak jarang juga beberapa humor diselipkan untuk sedikit ruang bagi penonton supaya bisa bernafas, istirahat sejenak dari keseraman yang ada. Saya menyukai hal-hal kecil diperhatikan sang kreator dalam interaksi mereka seperti Richie yang paling dekat dan memahami Bill.  Bila Bill adalah ketua dalam The Losers' Club, Richie merupakan wakilnya. Dan yang lebih mengejutkannya lagi adalah bagaimana sosok Ben yang berbadan tambun disini malah terlihat keren dan mungkin karakter yang paling mudah mendapatkan simpati dari penonton dengan kisah subplot nya yang diam-diam jatuh hati kepada Beverly.


Dengan kepedulian penonton pada karakternya, tentu itu mempengaruhi pada setiap adegan teror hadir di layar. Setiap teror terasa greget karena kita tidak ingin sesuatu hal yang buruk terjadi pada karakter yang tengah menghadapi teror dari Pennywise. Ditambah lagi dengan setiap teror tersebut disajikan bervariasi dan berbeda. Jump scare nya diperlihatkan dengan kreatif dengan memperhatikan secara detil mengenai set up nya dan tidak sepenuhnya pada momen mengagetkan. Bahkan sejujurnya bila mengenai kejutan akan jump scare, hal itu sangat minim sekali disini, namun bila membicarakan ketegangan, seram, atau sebagainya, itu sangat mampu untuk memaksa kalian mencengkeram pegangan kursi bioskop setiap momen terornya hadir. Pacing pun diperhatikan disini, karena sedikit sekali terasa adegan yang terlalu lama.  Berimbangnya pada poin karakter serta hal wajib pada film horor ataupun thriller yaitu menakutkan, maka tentu saja kalian bisa menebak bila It adalah film yang terpuji dan merupakan sebuah bentuk penghormatan pada sumber aslinya, dan It tentu tidak terjebak pada lubang yang sama, dimana lubang itu tengah dihuni oleh Dark Tower.


Naskah It pun tidak kosong. Karakter-karakternya dipenuhi oleh remaja sehingga bisa ditebak bila It kental dengan kisah coming of age nya. Disini, poin mengenai kerelaan lah yang menjadi bagian akan penceritaan, bagaimana dengan merelakan seseorang ataupun juga sesuatu yang telah tidak bisa dijangkau lagi merupakan salah satu dari proses menuju kedewasaan. Pada bagian konklusi terasa cukup mengharukan berkat pendekatan yang tahap demi tahap yang dilakukan sebelumnya, Love story juga ada walau untungnya tidak mendominasi dan Palmer-Fukunaga lebih memilih tema mengenai persahabatan lebih dominan. Oh, tidak lupa juga bila saya merasa teror yang dilakukan Pennywise kepada remaja-remaja malang ini merupakan simbolisasi mengenai fenomena akan bullying, dan film ini memperlihatkan bila melawan kekerasan bully itu harus dilakukan bersama-sama serta melawan ketakutan yang ada pada diri sendiri, bukannya untuk memilih menyendiri dan berpisah karena hal itu hanya akan menambah kesenangan para bully-ers (maksa banget!).

Mungkin bagi saya yang cukup mengganggu dan sedikit mengganggu penilaian saya mengenai Pennywise nya sendiri. Oh, tentu saja bukan akting karena bagi saya Bill Skarsgard jelas adalah bintangnya disini, dengan memberikan penampilan yang meyakinkan sebagai badut seram. Permainan intonasi serta suara yang dilakukan Skarsgard tidak ditampik sangat mengingatkan saya akan The Joker-nya Heath Ledger. Dan itu tentu saja good point. Yang menjadi masalah adalah ya, siapa It sebenarnya? Mengapa ia memilih kostum badut sebagai instrumennya untuk menakuti? Mengapa ia menyerang hanya 27 tahun sekali? Memang, hal itu tampaknya telah dijawab, namun cerita mengenai sejarah itu sendiri bagi saya cukup membingungkan mengenai apa korelasinya dengan apa yang dilakukan Pennywise. Ambil contoh ya seperti film horor/thriller lainnya yaitu Friday Night 13th yang jelas motif nya menyerang para korban. Entah mungkin memang diniati karakter ini pekat akan misterius atau tidak, yang jelas saya sangat menantikan sekuelnya karena saya tidak ingin kostum boneka nya Pennywise jatuhnya hanya lah menjadi gimmick. 


8,5/10


Wednesday 20 September 2017



"The moment you catch feelings is the moment you catch a bullet"- Bats

Plot

Muda, mengenakan kacamata hitam, memiliki muka yang kelihatan polos dan tak bersalah, dan tidak lupa earphone yang tersambung dari IPOD nya. Tidak akan ada yang menyangka bila Baby (Ansel Elgort), begitu panggilannya, memiliki keahlian menyupir yang luar biasa dan juga merupakan salah supir andalan dari Doc (Kevin Spacey) yang mempekerjakan tiga orang untuk melakukan perampokan. Tugas Baby mudah, yaitu untuk memastikan usaha kabur setelah melakukan perampokan berjalan dengan sempurna. Baby tentu tidak menikmati pekerjaannya tersebut, namun juga tidak terlihat juga Baby membencinya. Sampai ia bertemu dengan Debora (Lily James), pramusaji restoran yang sering didatangi Baby.





Review

Bila Anda mengetahui trilogy Cornetto Flavours, Anda tentu tidak asing dengan sutradara bernama Edgar Wright. Dari trilogy itu juga lah yang memperkenalkan saya dengan Wright, padahal sebelumnya saya telah menyaksikan karya Wright lainnya, yaitu Scott Pilgrim vs The World, yang sayangnya sedikit flop bila ditilik dari pemasukan. Walau memang karya-karya tersebut kental dengan genre komedi, namun jangan salah, karena didalamnya, Wright juga membalutnya dengan nuansa aksi yang tidak jarang mampu memukau penonton. Contohnya seperti pub scene di Shaun of the Dead. Dan jujur juga, saya baru mengetahui kala beberapa menit sebelum menulis review ini, bila Wright juga terlibat dalam film Grindhouse yang juga melibatkan Quentin Tarantino itu. Maka tidak heran bila Baby Driver berakhir dengan memuaskan. 

Dari opening saja, susah rasanya untuk tidak langsung menyukai Baby Driver. Dibuka dengan car chase yang mempertunjukkan kebolehan dari Baby untuk lepas dari kejaran polisi, serta diiringi dari track nya Jon Spencer Blues Explosion yaitu Bellbotoms, Wright ingin memberikan gambaran kepada penontonnya bila Baby Driver adalah tontonan yang mengasyikkan namun tidak melupakan keseruan akan gelaran-gelaran aksi sebagaimana film heist lainnya. Barulah setelah keseruan yang berlangsung kurang lebih 7 menit itu, Wright mengajak penonton untuk berkenalan dengan tokoh utama dalam film ini, yaitu Baby. Dari backstory, alasan dirinya mengapa bisa bekerja dibawah perintah Doc, kebiasaannya yang selalu mengenakan earphone yang ternyata untuk menutupi gangguan yang ada di telinganya, juga dengan siapa Baby tinggal. Perkenalan ini tentu diniati Wright untuk menciptakan kedekatan penonton dengan Baby. Yang saya suka adalah keberadaan backstory Baby tidak hanya untuk menuai simpati penonton kepada Baby, tetapi juga dijadikan landasan akan tiap-tiap tindakan yang dilakukan Baby. Bahkan dari keputusan Baby yang selalu mengenakan earphone saja memiliki alasan tersendiri, yang jatuhnya tidak menjadi tempelan semata supaya sosok Baby terlihat keren. Well, sulit memang untuk tidak menyukai karakter Baby yang dilengkapi dengan keunikan-keunikannya, yang terutama bagi saya adalah kebiasaannya merekam percakapan-percakapan orang lain, lalu menggubahnya ke dalam bentuk mixing lagu.

Wright tahu benar bagaimana mengemas suatu adegan yang bersinergi antara apa yang ada di layar dengan soundtrack nya. Lihat saja dari adegan Baby berjalan menuju kedai kopi saja dikemas oleh Wright dengan brilian, sebuah adegan yang mengingatkan saya akan Copacabana scene dari Goodfellas. Wright mewujudkan keinginan penonton seperti saya yang ingin kehidupan ini juga diiringi soundtrack yang mampu merefleksikan apa yang sedang kita lakukan. Wright juga setia dengan judul film ini karena adegan-adegan aksi di Baby Driver didominasi setiap karakter Baby berada di belakang roda kemudi, dan percaya sama saya, walau hampir tidak ada aksi perampokan yang ditampilkan dalam film ini, namun setiap adegan aksi car chase nya sama sekali tidak ada yang terasa hambar, terutama kala aksi kabur yang tidak sesuai rencana di pertengahan film. Saya saat setelah adegan car chase di opening yang sedikit meragukan Wright untuk bagaimana melanjutkan adegan-adegan aksinya setelah car chase terbaik tahun ini, dibuat terdiam dan puas setelah terbukti salah meragukan kapabilitas seorang Edgar Wright. Dengan style ciri khas nya dalam mengemas suatu adegan, seperti jumpcut yang cepat, lalu ditambah bumbu-bumbu film heist seperti Heat- nya Michael Mann. Yak, bagi yang belum mencoba menonton film ini, tinggal bayangkan saja bagaimana gila dan kerennya kemasan adegan aksi disini.

Adegan aksinya memang semuanya keren disini, tetapi apalah artinya bila tidak diimbangi dengan karakter-karakter yang keren pula. Untungnya Wright menyadari itu, setelah mengemas Baby menjadi karakter yang cukup mudah untuk mendapatkan simpati dari penonton, Wright menciptakan karakter-karakter pendukung yang tidak mudah terlupakan, seperti Buddy (Jon Hamm), kekasihnya Darling (Eiza Gonzalez), bahkan penampilan singkat dari Jon Bernthal pun tidak bisa dibilang mudah terlupakan juga. Namun tidak ada yang bisa mengalahkan penampilan badass dari Jamie Foxx sebagai Bats. Bats adalah seseorang yang kalian tidak harapkan ada berada di dekat kalian. Bertingkah seenaknya, kalimat kasar senantiasa keluar dari mulutnya, mudah untuk membenci karakter yang mengingatkan saya pada Calvin Candy-nya Leondardo DiCaprio di Django Unchained ini, tetapi berkat penampilan gemilang dari Jamie Foxx, Bats menjadi karakter paling memorable di film Baby Driver, bahkan menurut saya mampu mengalahkan karakter Baby itu sendiri. Karakter Debora yang dibawakan Lily James mungkin sedikit tenggelam bila dibandingkan lainnya, namun bukan berarti karakternya jelek, bahkan seorang Debora itu adalah gadis yang banyak dimimpikan oleh para pria. Oh, mengenai percintaannya, bisa dibilang cukup klise, bahkan menurut saya Baby Driver sedikit keteteran kala penceritaan mengarah ke hubungan Baby dan Debora. Untungnya cerita mengenai hubungan mereka tidak terlalu mendominasi, dan walau memang klise, tetapi cukup mampu untuk membuat penonton mendukung hubungan percintaan Baby dan Debora.

Dikelilingi oleh para aktor yang jauh lebih senior, dan bahkan dua diantara mereka telah memenangkan Oscar (Foxx dan Spacey), mudah saja memprediksi bila aktor muda Ansel Elgort akan tenggelam. Namun kenyataan mengejutkan di lapangan membuktikan bila anggapan itu salah. Kesampingkan mengenai pendalaman karakter yang dilakukan Wright terhadap Baby, Elgort berhasil memerankan Baby sebagai pemuda yang bisa memerankan karakter yang asyik serta mudah mendapatkan simpati dari penonton secara bersamaan. Ditambah dengan meyakinkannya Elgort menampilkan kecanggungan dari Baby tiap kali berbicara. Singkatnya, Elgort terlahir untuk memerankan karakter Baby ini (sedikit berlebihankah?).

Spoiler!!! 

Saya menyukai endingnya yang tidak serta merta memberikan akhir yang manis terhadap Baby. Wright lebih memilih untuk menyelipkan dampak yang harus dialami oleh Baby dari setiap aksi-aksi kriminal yang ia lakukan. Hal ini menurut saya merupakan pembeda yang dilakukan Wright dari film-film heist, yang tetap menapakkan Baby Driver pada dataran realita bila bukanlah hal yang mudah untuk kabur dari tindakan kriminal yang dilakukan, baik itu karena keterpaksaan atau tidak. Dan yang lebih saya sukai lagi adalah kebaikan-kebaikan kecil yang dilakukan Baby sebelumnya tidak dilupakan dan dijadikan alat penggerak plot menuju ke akhir bahagia yang pantas didapatkan oleh Baby.

Spoiler Ends!!

Bila membicarakan minus yang ada pada Baby Driver, yang hanya terpikir mungkin adalah kurangnya pendalaman interaksi antara Doc dan Baby, sehingga apa yang dilakukan Doc pada adegan aksi terakhir Baby Driver patut dipertanyakan serta terkesan sangat terpaksa. Bila saja ada sedikit montage saat awal-awal Baby bekerja dengan Doc, pasti momen tersebut akan terasa emosional dan bukan tidak mungkin akan menghadirkan salah satu adegan tersedih pada tahun ini. Namun minus ini tidak menghentikan saya untuk menikmati Baby Driver. Karakter-karakter yang menempel di benak, protagonist yang mudah disukai, action secquences yang semuanya digarap begitu cemerlang oleh Wright, serta penutupnya yang manis, mengantarkan Baby Driver adalah salah satu film terbaik di tahun ini.

8,5/10




Thursday 14 September 2017




Plot

Meg (Kate Upton) dan Kate (Alexandra Daddario) tengah mengalami kebuntuan dalam karir mereka. Merasa perlu untuk liburan sejenak, Meg mengajak teman sekamarnya itu untuk pergi berlibur. Pada saat pesawat akan take off, keduanya bertemu dengan pria berambut pirang bernama Ryan (Matt Barr). Tidak terlalu lama, Meg dan Kate tertarik dengan Ryan dan memanfaatkan keadaan dimana perjalanan mereka terhambat akibat badai untuk lebih mengenal lebih jauh sosok Ryan.




Review

Baywatch mungkin bukanlah karya yang bisa dibanggakan, tetapi paling tidak film tersebut memperkenalkan saya akan sosok artis jelita bernama Alexandra Daddario (saya tidak mengikuti tv series True Detective). Praktis, sehabis menonton Baywatch, saya segera mencari film-film apa saja yang pernah dan akan dibintangi Daddario, sehingga pencarian saya mempertemukan dengan The Layover. Sebuah film romantis komedi yang menyandang rating R didalamnya. Ya, rating R tersebut jelas menggoda saya untuk mencoba film ini dan mengharapkan Daddario tampil berani di The Layover, yang sebelumnya di Baywatch, Daddario sedikit mengecewakan para fans nya (termasuk saya) karena dinilai tampil sedikit tertutup untuk film yang bergenre dewasa.

Bagi saya, film akan berakhir dengan memuaskan dipengaruhi akan ekspektasi yang dipasang, dan bila melihat sinopsis The Layover, para kritik harusnya bisa lebih bijak dalam memasang ekspektasi akan film yang disutradarai William H. Macy ini. Ya, apa yang diekspektasikan dari film seperti ini? Dari awal-awal film bergerak menuju plot sebenarnya saja, sebagian besar penonton pasti bisa menebak akan berakhir seperti apa The Layover. Dan Macy menyadari itu sehingga dengan bantuan David Hornsby dan Lance Krall dalam pembuatan naskah, Macy tidak ingin menjadikan karya nya ini sebagai film yang sok-sokan untuk pintar. 

Memiliki amunisi dua aktris seksi di dalamnya pun sedikit bisa dimanfaatkan oleh Macy, walau memang harus diakui, Macy masih malu-malu dalam mengeksploitasi tubuh Kate Upton dan (sayangnya) Daddario. Padahal bisa saja saat karakter Meg dan Kate berusaha untuk menarik perhatian seorang Ryan, mereka ditampilkan gila-gilaan dan mengobral tubuh indah mereka. Saya mungkin terdengar sangat mesum disini, tetapi, well, bukannya sebagai pria dan penikmat film yang normal, hal itulah yang kita harapkan dari The Layover? Sayangnya Macy tidak melakukan hal ini dengan maksimal. Saat momen payudara Meg tersembul keluar saja tidak ditampilkan secara gamblang oleh Macy. Adegan bercintanya saja hanya ada satu disini, dan untungnya saja melibatkan Daddario. Bila tidak, sia-sia saja saya menyaksikan film ini. Oh, mengenai Daddario, bila dibandingkan dirinya di Baywatch, Daddario tentu jauh tampil lebih terbuka dan berani disini. Yah, walau tetap tidak ada adegan yang memperlihatkan payudaranya. (Ya ampun, maafkan kemesuman saya)

Baiklah, saya akan membahas sedikit mengenai ceritanya, dalam rangka untuk menghargai karya yang dibuat Macy ini. Ceritanya memang tipis. Persaingan antara Meg dan Kate sebenarnya ingin diniati sebagai jembatan untuk kedewasaan diri juga mempererat hubungan persahabatan (mereka bersahabat?) Meg dan Kate. Tetapi jatuhnya menjadi hambar karena kita sama sekali tidak mengenal Meg dan Kate. Bila tidak ada tampilan mengenai kedekatan mereka berdua sebelum mereka harus bersaing untuk hal yang mereka yakini cinta, penonton tentu saja kesulitan untuk perduli dengan hubungan mereka berdua. Sehingga konklusi nya di akhir sama sekali tidak meninggalkan kesan. Belum lagi saya membahas bila konklusinya tersebut terlalu datang tiba-tiba, tanpa proses yang meyakinkan sebelumnya. Humornya juga tidak terlalu berhasil, walau tetap mampu memaksa penonton untuk setidaknya tersenyum simpul. 

Alasan utama saya menyaksikan The Layover tentu adalah untuk melihat keseksian Daddario, dan cukup mengejutkan kala melihat Daddario ternyata cukup bisa memaksimalkan humornya. Ya, Daddario adalah bintangnya disini, dan tidak salah bila dirinya adalah alasan nomor satu juga untuk penonton lainnya untuk menikmati The Layover hingga durasi berakhir.

6/10

Friday 1 September 2017


"He may have been your father, Quill, but he wasn't your daddy."- Yondu

Plot

Setelah berhasil menghentikan kejahatan Ronan, para anggota Guardians of the Galaxy yang terdiri dari Peter Quill (Chris Pratt), Gamora (Zoe Saldana), Drax (Dave Bautista), Rocket (voice by Bradley Cooper) serta Groot (voice by Vin Diesel) yang kini dalam wujud kecil akibat pengorbanan yang ia lakukan sebelumnya untuk menyelamatkan teman-temannya, tetap melanjutkan tugas barunya dalam melindungi galaksi dengan cara menerima permintaan dari antar planet lain. Saat telah berhasil menjalani misi yang diberikan oleh ras yang dinamakan Sovereign, The Guardians mendapatkan masalah akibat ulah dari Rocket sehingga kini mereka menjadi buronan ras Sovereign. Dalam masa diburu itulah, muncul sosok bernama Ego (Kurt Russel) yang ditemani Mantis (Pom Klementieff) yang mengakui dirinya bila ia adalah ayah dari Peter. Di lain sisi, akibat kegagalan yang ia alami, Yondu (Michael Rooker) kini diasingkan oleh pihak Ravagers dan juga harus menghadapi akan krisis kepercayaan para anak buahnya. Ras Sovereign pun memanfaatkan kesempatan itu dan menawarkan pekerjaan kepada Yondu dan anak buahnya, yaitu apalagi selain menangkap The Guardians.





Review

Saya mencintai film Guardians of the Galaxy (GotG). Menurut saya, film tersebut jauh dari sekedar kejutan yang menyenangkan. Perpaduan antar interaksi karakter, humor-humor yang segar (saya tidak bisa untuk tidak tertawa saat melihat Rocket membodohi Peter yang melibatkan kaki palsu tersebut), pamer visual yang indah dan jangan lupakan juga soundtrack demi soundtrack nya yang tidak hanya sangat memanjakan telinga, namun juga bersinergi dengan adegan yang hadir di layar, semuanya menjadi satu untuk membuat GotG yang awalnya dianggap sebagai proyek judi dari Marvels menjelma menjadi salah satu film terbaik di tahun 2014. Tentu saja dengan hasil akhir yang memuaskan itu, sekuel selanjutnya diantisipasi oleh penggemar film, termasuk saya. Ekspektasi meninggi tidak bisa dihentikan, terutama kala James Gunn kembali duduk di sutradara. 

Telah menjadi tradisi saya bila untuk film-film yang saya niati untuk tonton, sebisa mungkin saya akan menjauhi trailer maupun artikel demi artikel yang membahas film tersebut untuk mendapatkan kepuasan yang maksimal. Maka ketika adegan awal di sekuelnya ini telah memperlihatkan sosok ayah dari Peter yang telah ketahui bersama bila Peter sangat penasaran dan terus mencari ayahnya dari semenjak ia diadopsi oleh Yondu. Dari sini saya memperkirakan akan terjadi petualangan yang melibatkan emosi personal di dalam diri Peter. Hanya satu yang saya takutkan, yaitu karakter Peter akan terlalu menonjol akan konflik kedepannya sehingga karakter-karakter lain akan dikorbankan screen time nya dan hanya menjadi pendamping saja. GotG pertama berhasil tidak bisa dilepaskan dari kebersamaan serta lemparan-lemparan dialog antar karakter, namun ketika karakter nya berjalan masing-masing, daya tarik menurun drastis. Untungnya James Gunn tidak terlalu menyingkirkan para karakter pendukungnya, karena baik Gamora, Rocket, Drax bahkan Baby Groot pun memiliki momen-momennya sendiri. Mereka tetaplah karakter yang sama seperti di prekuelnya (selain Baby Groot yang jelas jauh lebih imut dibandingkan versi raksasanya), namun tetap dibantu dengan humor-humor baru yang cerdas dari Gunn, seperti yang paling sederhana saat Rocket yang selalu salah saat mengirimkan kode candaan dengan mengedipkan sebelah matanya. Menjadi permasalahan ketika Gunn memutuskan untuk memisahkan mereka menjadi dua grup, yang tentu saja berisiko besar membuat Vol. 2 mengalami degradasi dalam hal sisi fun nya.

Risiko tersebut nyatanya memang terjadi, sehingga segala kesenangan saat melihat aksi melawan monster di opening serta usaha kabur The Guardians dari kejaran ras Sovereign, dilanjutkan dengan build up yang dilakukan demi third act nya. Pada saat ini lah, Vol. 2 cukup terasa membosankan dan tidak menarik sehingga durasi sedikit terasa berjalan lambat. Bila saja tidak ada subplot dari Rocket yang kembali bertemu dengan Yondu, mungkin saja saya akan ketiduran di tengah jalan. Ya, petualangan Rocket bersama Yondu berhasil menjadi plot yang lebih menarik ketimbang melihat interaksi antara Peter dan Ego di planet lain. Bukan hanya karena Yondu adalah karakter terfavorit saya di GotG, tetapi kisah mereka juga dibalut dengan sebuah aksi yang mungkin adalah aksi terbaik di Vol 2 ini. Belum lagi saya membicarakan momen kelucuan dimana Baby Groot berusaha membebaskan mereka berdua. Membosankannya petualangan Peter, Gamora dan Drax membuktikan bila daya tarik The Guardians tidak akan maksimal bila mereka terpisah satu sama lain. Subplot yang terjadi antara hubungan Gamora dan adiknya, Nebula (Karen Gillan) memiliki konklusi yang menurut saya cukup dipaksakan, apalagi melihat setiap perkelahian yang mereka lakukan. Koneksi antara Drax serta Mantis pun tampaknya hanya diperlukan sebagai comic relief saja. Untuk menjadi sebuah motivasi dalam diri Mantis supaya apa yang dilakukannya pada momen mendekati third act juga rasanya tidak terlalu kuat.

Seperti prekuelnya, kisah Vol. 2 sendiri tidaklah terlalu spesial. Saya yakin telah banyak yang menggunakan penceritaan yang sama seperti Vol. 2 ini sehingga saya cukup berani untuk bertaruh bila sebagian besar penggemar film akan bisa menebak third act nya akan seperti apa, tanpa harus membaca komiknya sekalipun. Dipisahnya para anggota The Guardians memang menurunkan dosis kesenangannya, namun susah juga untuk ditampik bila hal itu diperlukan demi third act nya yang akan mengaduk-aduk perasaan penonton (terutama saya). 

Kelemahan GotG Vol. 2 juga adalah motif supervillain nya yang bisa saya katakan cheesy seperti villain-villain superhero lainnya, yang menganut kepercayaan dunia akan lebih baik kala dunia akan dihancurkan lebih dulu. Tidak ada suntikan personal di motif tersebut, padahal bila saja motifnya bisa dikaitkan dengan masa lalu antar dua karakter, hal tersebut mampu menambah kebimbangan yang akan terjadi pada karakternya. Supervillain nya kembali lagi jatuh ke lubang yang sama yang ingin menguasai dunia dan itu membosankan, tentu saja. Mengapa Loki jauh lebih memorable dibandingkan keseluruhan villain di MCU? Karena motif Loki jauh lebih personal dengan hanya ingin mendapatkan pengakuan dari keluarganya dan ingin keluar dari bayang-bayang sang kakak, yaitu Thor. Hal itu memberikan keterikatan dengan penonton sehingga tidak jarang kita sebagai penonton seringkali lebih mendukung Loki dibandingkan Thor sendiri yang notabenenya sebagai karakter superhero.

"Pamer" visual yang saya sebutkan di atas yang merupakan salah satu elemen positif prekuelnya, kembali ditampilkan oleh Gunn disini. Budgetnya yang mencapai $200 juta begitu dimaksimalkan disini dengan memperlihatkan parade cahaya-cahaya cosmic di luar angkasa untuk menghiasi adegan-adegan aksinya, yang juga terasa lebih bombastis dibandingkan third act di prekuel, meski tidak sampai ke tahap yang bisa dikatakan spesial. Malah semua adegan-adegan bombastis tersebut menurut saya tidak ada apa-apanya dibandingkan aksi sederhana dari Yondu. Setiap track nya juga tetap bersinergi dengan adegan-adegannya, lihat saja di adegan openingnya. Oh, berbicara dua aspek ini, Gunn memaksimalkannya di adegan closing yang tidak hanya emosional (I was cried at this scene. And I don't feel embarassed) berkat bantuan track Father and Son- nya Cat Steven, serta indah akibat dari puluhan cahaya yang ada. Salah satu closing terbaik di MCU.

Guardians of the Galaxy Vol. 2 mungkin sedikit dibawah dibandingkan predesornya, namun itu disebabkan oleh keputusan Gunn untuk memisahkan antar karakter The Guardians, sehingga interaksi mengasyikkan antar karakter seperti di GotG pertama menghilang di pertengahan film, dan itu cukup berpengaruh bagi saya. Lihat saja, kala kelima karakternya kembali berinteraksi, di saat itu juga Guardians of the Galaxy kembali mendapatkan nafas kehidupan. Tetap menghibur, walau tidak terlalu berkesan. Andai saja tidak ada adegan penutupnya yang emosional tersebut, Guardians of the Galaxy Vol. 2 ini tidak akan meninggalkan kesan yang baik untuk saya.

7,5/10





Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!