Monday 9 October 2017


"I did not start this war. I offered you peace. I showed you mercy. But now, you're here. To finish us off...for good"- Caesar

Plot

Walau Caesar (Andy Serkis) memang berhasil meredam pemberontakan yang dilakukan kera penuh dendam, Koba (Tony Kebbell), namun Caesar tetap tidak bisa menghindari konflik antar kera dengan manusia. Bahkan Caesar harus menerima kenyataan ada beberapa kera yang mengikuti ideologi Koba sehingga rela untuk memerangi dirinya bersama pengikutnya dengan membantu manusia. Setelah berhasil meredam serangan yang dilakukan para tentara yang diketuai pria yang dipanggil Kolonel (Woody Harrelson) dan membebaskan beberapa tentara yang berhasil ditangkap, Caesar tidak akan menduga bila itu adalah awal dari petualangan yang mungkin paling personal dalam Caesar. Untuk pertama kali nya, Caesar menyadari bila dendam bisa merasuki para kera layaknya manusia.




Review

Selain Dunkirk, bisa dibilang War for the Planet of the Apes adalah film yang saya harapkan bisa saya saksikan dalam bioskop. Sayangnya akibat jadwal rilisnya yang begiti bedekatan dengan Dunkirk, saya pun harus merelakan untuk melewatkan War for the Planet of the Apes. Dengan budget yang tipis, sulit untuk saya untuk menyaksikan dua film di bioskop sekaligus dalam satu bulan. Keinginan itu tidak terlepas karena sebelumnya dua film dari trilogy reboot Planet of the Apes ini begitu memuaskan. Pada reboot yang dilakukan 6 tahun lalu, sang sutradara Rupert Wyaat dengan Rise of the Planet of the Apes nya menunjukkan bagaimana film reboot seharusnya dibuat. Adegan aksi, serta penggunaan CGI yang tepat, serta tidak lupa juga akan pendalaman cerita, Rise of the Planet of the Apes berhasil menjadi salah satu film yang paling mengejutkan pada tahun 2011. Kemudian dilanjutkan dengan Dawn of the Planet of the Apes yang meski tidak lagi disutradarai oleh Rupert Wyaat dan tongkat estafet diserahkan pada Matt Reeves, Dawn of the Planet of the Apes malah menurut saya berhasil melampaui kualitas bagus pada film pertamanya. Dengan konflik internal ditambah juga aksi-aksi nya yang memukau, Reeves mengantarkan Dawn of the Planet of the Apes menjadi salah satu film terbaik pada tahun 2014. Dengan dua film nya yang sama-sama memuaskan, ekspektasi tentu meninggi kala film ketiga akhirnya dirilis pada tahun ini.

Masih dipegang kendali oleh Reeves, War for the Planet of the Apes langsung dibuka dengan adegan penyerangan yang dilakukan oleh sekumpulan tentara. Para tentara ini ternyata juga ikut dibantu oleh beberapa kera yang memilki ideologi sama seperti Koba. Awalnya saya menganggap ketika adegan kera yang dipanggil Donkey tiba-tiba menepuk pundak salah satu tentara itu adalah semacam adegan humor. Adegan itu berlangsung singkat saja, dan dari situ mungkin Reeves ingin mengindikasikan bila War for the Planet of the Apes tidak lah dipenuhi akan adegan perang antar kera dan manusia. Reeves tahu betul esensi reboot Planet of the Apes ini, dan tetap memfokuskan penceritaan pada diri Caesar. Di awal, Caesar masih lah memiliki rasa kasihan dan berusaha sebaik mungkin ingin menjaga perdamaian dengan manusia. Namun, disebabkan oleh suatu kejadian, Caesar merasa cukup dan berbalik menjadi penyerang dalam film ini.

Kejadian itu tentunya merupakan pengembangan karakter untuk Caesar. Caesar akhirnya sadar bila keinginan untuk hidup berdampingan dengan manusia adalah hal yang mustahil. Kita melihat sisi gelap Caesar dalam film ini, dan dengan adanya kejadian yang menimpa Caesar, penonton pun bisa memahami, walaupun mungkin akan ada yang menyayangkan akan perubahan yang dialami Caesar. Walau diselimuti akan dendam, Caesar tidak sepenuhnya mengikuti jejak Koba, yah paling tidak, belum sepenuhnya.  Maka dari itu lah, diperlukan kehadiran gadis kecil bisu yang diperankan oleh Amiah Miller. Kehadiran gadis kecil ini bagaikan reminder untuk Caesar akan dirinya yang dulu, yaitu Caesar yang mencintai manusia.

War for the Planet of the Apes memiliki suatu cerita yang sama seperti Rise of the Planet of the Apes, yaitu cukup didominasinya cerita mengenai Caesar menjadi tahanan. Yang berbeda tentu kondisi Caesar sendiri sebagai tahanan. Bila dalam Rise of the Planet of the Apes, Caesar masih seekor kera yang baru mengerti akan realita dan melihat sendiri bagaimana perlakuan manusia kepada para kera, dalam War for the Planet of the Apes, Caesar telah menjadi seorang pemimpin di dalam kelompoknya. War for the Planet of the Apes memiliki fokus akan pergelutan batin Caesar, dan disinilah pergelutan itu terjadi. 

Seperti pada Dawn of the Planet of the Apes, Reeves menyajikan War for the Planet of the Apes dengan perlahan, juga sunyi karena interaksi antar kera sering dilakukan dengan bahasa isyarat dan bisa saja cenderung membosankan bagi penonton yang "tertipu" dengan kata War di judulnya sehingga mengekspektasikan War for the Planet of the Apes akan dipenuhi dengan gelaran aksi. Pendalaman serta motivasi karakter di dalamnya tetaplah menjadi sajian utama. Tidak hanya Caesar yang diberikan motivasi akan tindakan yang dilakukannya, namun juga sang Kolonel yang digambarkan kejam pada awalnya pun memiliki sebuah motivasi yang tidak berbeda jauh dengan Caesar. Woody Harrelson bermain cemerlang disini berkat keberhasilannya dalam mengeluarkan aura intimidatif setiap kemunculannya, bahkan kala diam pun, kita bisa merasakan kegilaan dari sosok Kolonel yang mengingatkan saya akan sosok Colonel Kurtz di film Apocalypse Now. Dan setelah melihat akan easter eggs pada film tersebut (Ape-ocalypse Now), saya merasa memang persamaan antara sang kolonel dengan Kolonel Kurtz memang disengaja. Woody berhasil menjadi lawan yang sepadan untuk Andy Serkis yang rasanya tidak usah dijelaskan lagi bagaimana luar biasanya aktor ahli motion capture ini dalam memerankan sosok Caesar.

Dengan memiliki kata War di dalam judulnya, War for the Planet of the Apes benar-benar minim bila harus membicarakan adegan aksi. Praktis konflik pertempuran antara kera dan manusia hanya terjadi di awal dan akhir yang bisa dibilang memiliki durasi yang cukup singkat. Bahkan saya yang mengikuti dua film predesornya, sempat menduga bila film ini akan didominasi perperangan yang berlangsung antar kera dan manusia. Namun ternyata War disini yang dimaksud adalah perang yang terjadi dalam diri Caesar. Bila sebelumnya Caesar tidak bisa menghilangkan api dendam dalam diri Koba, kini Caesar sendirilah yang harus tenggelam dalam selimut api dendam tersebut. Saat Caesar untuk pertama kalinya menembak manusia, disaat itu pula penonton, termasuk saya, yang menyukai Caesar terkejut akan perubahan drastis dalam diri Caesar. Selain terkejut, menyayangkan apa yang Caesar lakukan juga ikut terasa, walau pun memang motivasi yang dimiliki Caesar sangat lah jelas. Yah, Reeves kembali berhasil menciptakan konflik batin tersendiri untuk penonton.

Walau memang bila ditilik dalam cerita, War for the Planet of the Apes sangat memuaskan, namun untuk sajian summer blockbuster, film ini cukup biasa-biasa saja bila membicarakan aksi yang terjadi. Tidak ada adegan yang mampu membuat penonton menahan nafas seperti adegan jembatan di film pertama, tidak ada pertempuran seru satu lawan satu seperti di Dawn of the Planet of the Apes. Ya, sama sekali tidak ada yang memorable sajian aksi di dalam War for the Planet of the Apes. Saya cukup kecewa karena akan ada potensi War for the Planet of the Apes menyajikan sebuah gelaran aksi yang memukau, apalagi setelah mengetahui kenyataan melalui pernyataan Kolonel. Telah terbayang bagaimana  serunya pertempuran yang terjadi antar 3 pihak di sajian akhir nya. Namun apa yang terjadi di layar tidak sesuai ekspektasi dan bahkan akhir dari rivalitas antara Caesar dan Kolonel bisa dibilang cukup anti klimaks. Hal inilah yang membuat saya merasa bila War for the Planet of the Apes sedikit dibelakang dua film pendahulunya. Walau tidak bisa terbantahkan, film ini memiliki ending yang bisa memaksa penonton untuk mengalirkan air mata.

7,75/10


Thursday 5 October 2017




"Tidak semua kebenaran bisa dikonsumsi oleh publik"

Sebenarnya saya telah menonton film dokumenter garapan Joshua Oppenheimer ini 4 tahun yang lalu, namun dikarenakan pada tahun ini film propaganda dari Arifin C. Noer yaitu Pengkhianatan G30SPKI kembali tersebar luas dan menjadi konsumsi untuk publik, dan melihat kenyataan masih banyaknya orang yang begitu mempercayai apa yang ditampilkan film tersebut, saya pun merasa perlu untuk membahas film ini supaya, paling tidak, bagi yang membuka blog ini (jika ada) akan tahu bila ada sebuah film yang sebenarnya perlu untuk dikonsumsi sebagai wadah penyeimbang akan sejarah PKI yang masih diliputi akan banyak tanda tanya. The Act of Killing adalah sajian yang kembali membuktikan pernyataan bila fakta tidak selamanya indah, dan membuka wawasan bagi mereka yang selama ini senantiasa mengecap pihak konsumis sepenuhnya merupakan pelaku antagonist pada periode 1965-1966. Bila film Pengkhianatan G30SPKI tampak sangat brutal dalam bentuk visual, The Act of Killing lebih ke arah mengganggu akan nilai moral yang selama ini kita pegang dengan mendengarkan langsung pernyataan dari pelaku pembantaian pada pihak yang dianggap memiliki korelasi dengan pihak komunis. Inilah psychological thriller dalam bentuk film dokumenter.




Kita diajak berkenalan dengan Anwar Congo, pria berusia senja namun masih tampak prima dengan rambut yang memutih serta keriput yang memenuhi bagian mukanya. Dari tampilan luar, tidak ada masalah akan sosok Anwar, sebelum kita mengetahui kenyataan bahwa dirinya adalah salah satu preman yang ditugaskan sendiri oleh pemerintah untuk membantai orang yang diyakini sebagai komunis. Anwar sendiri mengaku bila dirinya telah membunuh ribuan komunis dengan tangannya sendiri. Hal mengerikan yang mengganggu penonton adalah Anwar menceritakan itu semua dengan bentuk kebanggaan, bahkan di suatu momen, Anwar mengaku bila ia sering membunuh dalam pengaruh alkohol, bahkan mariyuana, sambil berjoged di tengah mayat-mayat bergelimpangan. Bisa bayangkan betapa menyeramkannya kala imajinasi kita melanglang buana, mencoba menerka-nerka serta menggambarkan sendiri bagaimana disturbing nya saat Anwar melakukan pekerjaannya tersebut. Anwar Congo pun ternyata merupakan salah satu anggota paramilitier yang bernama Pemuda Pancasila yang hingga kini pun masih beroperasi dan diakui oleh pemerintah yang menganggap mereka, termasuk Anwar Congo, merupakan pahlawan di masa 1965-1966. 

Apa yang ditampilkan oleh Joshua Oppenheimer disini benar-benar membuka mata saya. Selama ini saya dan juga sebagian besar masyarakat Indonesia yang sedikit sekali mengetahui sejarah mengenai pemberontakan yang dilakukan PKI selalu menganggap bila pihak PKI lah yang benar-benar salah. Ternyata orang komunis pun juga banyak yang menjadi korban akan "perang" ini. Pemerintah melibatkan preman-preman untuk melakukan tindakan yang tidak kalah keji untuk membabat habis para komunis demi menghilangkan ajaran komunis di Indonesia. Bahkan ada suatu momen, teman dari Anwar Congo mengklaim bila pihak mereka lah yang jauh lebih sadis ataupun kejam dibandingkan komunis tersendiri. Penilaian kejam dan sadis memang relatif, namun bila mendengar dari pengakuan teman Anwar Congo yang sempat-sempatnya melakukan pemerkosaan pada wanita yang ia anggap cantik sebelum akhirnya dibunuh, pernyataan itu bisa saja benar. 




Mungkin apa yang mereka lakukan 5 dekade lalu adalah suatu kewajiban, dan tidak bisa ditampik pula mereka memiliki andil dalam menciptakan keamanan pada Indonesia. Tapi bayangkan saja bila orang seperti Anwar Congo ini tinggal di dekat lingkungan kalian? Memikirkannya saja telah membuat bulu kuduk saya merinding. Hal ini lah yang menurut saya, The Act of Killing wajib untuk dikonsumsi publik. Biar pun pahit, namun ini lah kenyataan dan saya harap juga mampu mengubah sedikit pandangan kita mengenai komunis. Tidak, film ini sama sekali bukanlah media untuk membela komunis dan membenarkan mereka, namun orang komunis yang telah disiksa sebelum dibunuh ini juga manusia, sama seperti pahlawan-pahlawan revolusi kita. Paling tidak, kedepannya masyarakat bisa sedikit fair dan lebih banyak mencari tahu sejarah akan G30SPKI. Ingat kan apa kata Presiden pertama kita, Ir. Soekarno? "Jasmerah", Jangan sekali-kali melupakan sejarah.

Aksi-aksi yang pernah Anwar Congo dkk. lakukan pada masa nya  juga di perlihatkan dalam bentuk reka ulang, bukan hanya dalam cerita saja dari pihak Anwar Congo. Seperti mencekik korban dengan kawat, interogasi korban, maupun yang paling disturbing saat membakar rumah penduduk. Cukup hanya dengan reka ulang ini saja bisa tergambar akan kekejaman yang mereka lakukan saat itu, serta muka-muka takut yang diperlihatkan oleh figuran. Bahkan kala reka ulang membakar rumah penduduk yang dipercayai komunis, tampak bocah yang menangis hingga sesenggukan, juga seorang ibu yang tampak trauma tanpa bisa berkata apa-apa. Dari deskripsi verbal saja juga tidak kalah mengganggunya, seperti saat tetangga Anwar Congo yang menceritakan saat ayah tiri nya ditangkap oleh pihak Anwar. Tercipta momen awkward saat itu, apalagi Suryono menceritakan semua itu dengan gamblang seolah lupa di depan dirinya adalah pelaku-pelaku yang ikutan terlibat. Kritik secara tidak langsung pun terarah kepada media juga yang pasti pemerintah yang berusaha menutupi hal ini. Ibrahim Sinik, selaku publisher Medan Pos menceritakan pada saat itu korannya cukup untuk menjelek-jelekkan komunis. Kita mendapatkan satu pembelajaran bila sejarah bisa dimain-mainkan oleh pihak pemenang. Siapa? Ya pastinya adalah pemerintah saat itu. Bukti? Film yang ditonton bareng kita pada 30 September kemarin.



Film ini tidak hanya mengajak kita untuk mengetahui kebenaran, namun juga mempelajari sosok Anwar Congo tersendiri. Film ini bersikap netral, bahkan untuk pihak Anwar Congo. Interaksi mereka dengan keluarga di perlihatkan, seperti momen Anwar yang melarang cucu-cucunya menyakiti hewan, atau nasihat yang dikeluarkan Herman Koto pada gadis kecil nya di kamar. Tercipta suatu koneksi dan kedekatan penonton dengan mereka. Mereka bukanlah monster, hanya lah pria yang di masa mereka melakukan pembunuhan demi pembunuhan diberikan tugas oleh atasan. Mungkin saja kala itu mereka menikmati, namun seiring bertambah usia dan memiliki keluarga sendiri, bisa saja akan tercipta rasa penyesalan yang tidak terpikirkan sebelumnya. Disinilah terjadi adanya komparasi antara Anwar Congo dan teman seperjuangannya, Adi Zulkadry. Adi Zulkadry mengaku bangga dengan apa yang telah dilakukannya, dan ia sama sekali tidak menyesal. Berbeda dengan Anwar Congo yang pada proses syuting mengaku bila dirinya sering didatangi oleh para korban dalam mimpinya sehingga tidurnya pun sering tidak nyenyak. Ketika adegan melakukan reka ulang membakar rumah penduduk pun, Anwar mengaku tidak tega melihat anak kecil dan ibu-ibu yang ketakutan. Puncaknya adalah ketika dirinya merasakan sendiri bagaimana disiksa kala diinterogasi. Shock, ketakutan, bahkan mungkin saja trauma, begitu terpancar dari mukanya. Susah untuk tidak meletakkan simpati pada sosok Anwar Congo, apalagi saat sesudah ia menonton rekaman ulang adegan ia disiksa melalui televisi. Hal ini lah yang membuat The Act of Killing terasa spesial.

Apakah pandangan kalian berubah atau pun tidak setelah menonton The Act of Killing atau yang memiliki judul lain Jagal ini, sepenuhnya diserahkan kepada kalian. Namun tidak ada salahnya untuk mengetahui hal baru dalam sejarah dari negara sendiri lewat film ini. Kenyataan memang tidak selamanya indah, tetapi dengan mengetahuinya, pandangan bisa berubah dan pengetahuan pun sedikit bertambah, bila memang sejarah akan mudah dipermainkan oleh pihak yang meraih kemenangan. Udah liat Pengkhianatan G30SPKI? Yuk di tonton film ini. Gak sampe 3 jam kok.

9/10



Tuesday 3 October 2017


"Shit, motherfucker. I am.. harm's way"- Darius Kincaid

Plot

Akibat kegagalannya dalam melindungi klien yang dilindunginya, seorang bodyguard kelas atas, Michael Bryce (Ryan Reynolds) harus menerima kenyataan bila ia harus mengalami kemunduran dalam karirnya. Kesempatan untuk menaikkan kembali reputasinya sebagai bodyguard terbuka lebar saat mantan kekasihnya, Amelia (Elodie Yung) yang merupakan agen interpol meminta Michael untuk melindungi pembunuh bayaran, Darius Kincaid (Samuel L. Jackson). Nyawa Darius sangatlah berharga karena ia meruapakan satu-satunya saksi hidup akan kekejaman yang dilakukan mantan presiden Belarusia, Vladislav Dukhovich (Gary Oldman). Kehadirannya di pengadilan tentu dibutuhkan di saat semua tuduhan yang ditujukan kepada Dukhovich tidak diiringi dengan bukti yang kuat.






Review

Netflix tengah mendapatkan permasalahan besar pada tahun ini. Semua itu tidak terlepas dari blunder mereka dalam meremake salah satu manga paling populer dari Jepang yaitu Death Note. Keputusan bodoh mereka (atau mungkin juga pernyataan tersebut bisa dialamatkan kepada Adam Wingard) untuk tidak setia pada sumber aslinya, membuat Netflix harus mendapatkan cemoohan para fans di seluruh dunia, hingga sang sutradara Wingard juga tidak bisa menghindari akan brutalnya fans yaag tentu saja kecewa akan hasil akhir adaptasi Death Note tersebut, menghina bahkan mengancam akan membunuh Wingard, sampai-sampai Wingard terpaksa menghapus akun twitter nya. Saya sendiri pun juga tidak bisa menahan rasa kecewa dan tidak habis pikir mengapa Netflix begitu lancangnya menghadirkan bencana dalam bentuk sebuah film adaptasi yang disadur dari karya yang begitu dicintai oleh para penggemarnya. Rasa skeptisme pun mungkin akan selalu hadir terhadap film-film yang diproduksi Netflix selanjutnya, termasuk film The Hitman's Bodyguard ini (walau sebenarnya Death Note dirilis setelah The Hitman's Bodyguard, namun saya lebih duluan menonton Death Note). 

Apa yang kalian ekspektasikan di dalam benak saat mengetahui bila Ryan Reynolds dan Samuel L. Jackson berkolaborasi dalam satu film? Tentu saja banyolan-banyolan dinamis, kasar nan kocak di antara mereka. Dan ditambah pula background pekerjaan yang dilakukan dua karakter yang mereka permainkan begitu berbeda, maka terciptalah love hate relationship antara Michael dan Darius. Karakter satu nya merupakan pelindung, dan yang satunya lagi adalah pemburu. Bisa ditebak bila Michael sering mengalami konflik dengan Darius yang sering mendapatkan perintah untuk membunuh orang yang sedang dilindungi oleh Michael. Ketidak akuran diantara mereka berdua pun telah tampak saat keduanya tampil dalam satu frame untuk pertama kali nya. Dari momen tersebut, sang sutradara, Patrick Hughes, memberikan gambaran awal kepada penonton akan seperti apa petualangan yang dialami oleh dua karakter yang pada dasarnya saling membenci ini.

Hughes menyadari betul kapabilitas dua aktor utamanya. Tentu pekerjaan menjadi jauh lebih gampang untuk menampilkan film berjenis buddy cop bila memiliki dua aktor yang memiliki kekuatan dalam hal delivery pada setiap dialog nya. Setelah sukses memerankan Deadpool tahun lalu, karakter cerewet dan juga sering kali melontarkan komedi sarkas melekat erat pada diri Ryan Reynolds, yang menjadikan dirinya adalah pasangan yang tepat untuk seorang Samuel L. Jackson yang telah memerankan karakter badass motherfucker semenjak mengangkat namanya di film klasik milik Quentin Tarantino, Pulp Fiction. Dan bisa ditebak, perjalanan mereka untuk menghadiri persidangan di Amsterdam pun dipenuhi dengan adu mulut antar keduanya yang memiliki banyak sekali perbedaan. Jackson yang kerap kali melontarkan kata-kata kasar yang sering kali mengundang gelak tawa penonton serta sering bertindak seenaknya yang tidak jarang merepotkan Michael, dan di sisi lain Reynolds yang dengan setianya menanggapi setiap umpatan-umpatan dari Jackson dengan tidak kalah komikal serta cenderung sarkastik . Interaksi mereka pun berperan besar dalam mempengaruhi enjoyment penonton untuk mengikuti The Hitman's Bodyguard, sehingga mudah sekali untuk mendukung juga menyukai hubungan mereka berdua. Banyak sekali momen komedi di antara mereka berdua tercipta yang terkadang tidak bisa kita antisipasi kehadirannya, seperti saat Michael terpental keluar dari mobil saat ingin menyatakan cinta pada sang mantan. 

Tidak usah dipertanyakan lagi bagaimana nyamannya Reynolds dan Jackson dalam memerankan karakter mereka masing-masing. Reynolds pintar dalam memerankan kekikukan seorang Michael, lalu tidak lupa juga delivery nya yang selalu on target, kemudian ada Jackson yang senantiasa sebagai karakter badass motherfucker yang kita cintai selama ini. Karakter Jackson disini sedikit berbeda karena selain ia harus tampil garang, Jackson juga harus menampilkan seorang pria yang lembut dan lemah terhadap sang istri, Sonia yang diperankan Salma Hayek. Hasrat ingin melihat Jackson mengambil peran yang berbeda seperti biasanya tentu ada, namun bila ia selalu berhasil memerankan peran seperti ini terus menerus, rasanya sulit juga untuk menolaknya. Salma Hayek sendiri berhasil menjadi scene stealer di antara dominasi Reynolds-Jackson.  Hayek tetap menampilkan wanita yang seksi, namun keseksian itu hadir bukan akibat dari eksploitasi tubuh nya, namun dari setiap umpatan yang ia keluarkan yang menjadikan dirinya adalah seolah-olah Darius dalam bentuk perempuan.


Tik tok antara Michael dan Darius tentu saja menghibur, namun Hughes rupanya tidak ingin menjadikan interaksi mereka hanya sekadar hiburan semata, karena Hughes dan Tom O'Connor yang bertugas dalam menulis naskah, menyelipkan backstory untuk Michael-Darius sebagai bentuk character development untuk mereka berdua. Seperti misal awal mula Darius menjadi pembunuh bayaran, hingga hubungan asmara mereka berdua yang menjadi motivasi utama untuk melakukan sebuah perjalanan yang mempertaruhkan nyawa. Hal ini tentu berperan besar dalam membangun keterikatan penonton dengan Michael-Darius sehingga penonton ingin nyawa mereka berdua selamat dan berhasil mencapai tujuan mereka berdua.

The Hitman's Bodyguard jelas adalah showcase nya Reynolds dan Jackson, sehingga tidak heran bila penonton sedikit terdistraksi dari ceritanya yang lumayan klise walau diiringi dengan sentuhan realisme dunia politik. Naskahnya memiliki potensi akan konspirasi, namun tidak dieksplor lebih jauh. Hughes mengerti seperti apa ekspektasi penonton yang akan menyaksikan filmnya. Ceritanya hanya dijadikan landasan akan semua aksi tembakan, ledakan juga kejar-kejaran yang terjadi tiap menitnya di dalam film ini. Oh, mengenai aksinya, Hughes menyadari kesalahannya saat menggarap The Expendables 3. Hughes menyajikan aksinya dengan brutal, ia tidak pelit dengan menampilkan kekerasan yang kerap kali diiringi muncratan darah, bahkan Hughes seakan ingin show off dengan menampilkan long take panjang pada adegan aksi yang terjadi di toko peralatan bangunan. Tidak lupa juga Hughes masih menyelipkan humor di adegan-adegan aksi nya.

Permasalahan The Hitman's Bodyguard memang terletak pada ceritanya, juga akibat terlalu di dominasinya Reynolds dan Jackson, seorang Gary Oldman pun tampak tersia-siakan saat karakter yang ia perankan begitu minim tampil di layar. Belum lagi karakter nya yang sedikit flat  dan mainstream untuk ukuran seorang pemimpin yang diktator. Kehadiran Elodie Young pun tampak menjadi pemanis belaka. Walau begitu, tetap saja The Hitman's Bodyguard merupakan kejutan yang menyenangkan tahun ini. Untung saja skeptis saya akan Netflix tidak sampai ke taraf yang berlebihan sehingga saya berkenan untuk mencoba film yang menemani saya di dini hari ini.

7,75/10

Sunday 1 October 2017

Sekitar satu bulan lalu, Netflix, salah satu layanan tv cable, menghadirkan film adaptasi dari salah satu manga terbaik yang pernah hadir, Death Note. Sedikit mengenai Death Note, Death Note adalah sebuah karya masterpiece yang diciptakan oleh Tsugumi Ohba dan Takeshi Obata, yang menceritakan buku berwarna hitam yang dinamai Death Note, bila nama seseorang ditulis di atas kertas buku tersebut, dalam sekejap orang itu akan menemui ajalnya. Keduanya berhasil menciptakan jalan cerita yang unik, absurd namun sangat cerdas. Death Note juga di motori dua karakter menarik, yaitu Light Yagami dan L. Karakterisasi yang brilian pada keduanya juga hubungan serta kisah cat and mouse antar keduanya berhasil membuat Light dan L begitu dicintai oleh penikmat Death Note dan Death Note sendiri mendapatkan kritik yang memuaskan dan juga kepopuleran di ranah dunia. Tidak heran jika pihak Netflix tertarik untuk mengangkat kisah manga Death Note ke layar lebar versi Amerika.
Ini merupakan adalah film adaptasi Death Note pertama yang dipublis oleh industri Amerika, karena selama ini Film adaptasi Death Note ditangani oleh industri film dari Jepang, seperti trilogy Death Note yang hadir di tahun 2006. Penggemar animanga (Anime Manga) Death Note di seluruh dunia tentu mengantisipasi Death Note versi Amerika ini dengan penuh was was. Hal ini bukan tanpa sebab, karena selama ini, bisa dibilang tidak ada sama sekali film adaptasi manga versi Amerika yang memuaskan, sebut saja seperti Speed Racer dan yang paling mengecewekan adalah Dragon Ball Evolution. Dan benar saja, film adaptasi garapan Adam Wingard tersebut dicerca habis-habisan baik penonton kasual dan yang terutama die hard fans animanga Death Note.
Cerita yang sangat berbeda dari sumber aslinya dan terutama karakter-karakternya yang berbeda jauh sekali dengan apa yang tergambarkan dalam animanga Death Note. Bila dalam manga, karakter Light adalah karakter yang begitu cerdas, tenang, memiliki perencanaan yang matang, mampu memikirkan beberapa langkah jauh ke depan dibandingkan yang lain serta kalkulatif sehingga bisa dipahami mengapa dirinya sangat sulit ditangkap, sedangkan L yang merupakan detektif nomor satu di dunia yang ditugaskan untuk menangkap Light atau codename nya Kira, merupakan karakter unik yang gemar memakan semua makanan yang manis, kekanak-kanakan namun kemampuan daya pikirnya mampu menyaingi Light sehingga tidak jarang strategi yang digunakan L mampu memaksa Light terpojok. Mereka berdua bisa dibilang memiliki kesamaan, namun sayang mereka berada disisi berlawanan, dan itulah salah satu faktor mengapa rivalitas Light dan L sangat menarik diikuti dan menggoda untuk diikuti hingga akhir.
Death Note versi Netflix sangat berbeda. Selaku sutradara, Adam Wingard seolah memiliki gagasan bila semua hal positif di dalam animanga lebih baik dihilangkan dan diganti yang baru. Dan hasilnya, berantakan dan hampir seluruh penggemar Death Note menyatakan ketidak puasannya, bahkan seorang Adam Wingard pun harus menghapus akun twitter nya akibat banyaknya caci maki bahkan ada yang mengancam untuk membunuh Adam Wingard.
Dan inilah yang selalu menjadi permasalahan film adaptasi yang diangkat dari manga. Sang kreator seolah tidak memahami esensi dari manga, dan seenaknya saja mengubah apa yang sebenarnya merupakan daya tarik atau daya jual manga yang berpengaruh dalam meningkatkan popularitas. Hal ini tidak berpengaruh di industri Amerika saja, di Jepang pun pernah terjadi. Bila teman-teman masih ingat, film adaptasi live action Attack on Titan pun mendapatkan respon negatif dari penggemar manga Attack on Titan a.k.a Shingeki No Kyojin karena merubah cerita seperti yang ada di manga nya.
Death Note memang didominasi akan dialog-dialog rumit, namun penggemar tidak keberatan karena memang disitulah esensinya, yaitu melihat adu pintar antara Light dan L. Di versi Netflix, dengan mengatasnamakan kepuasan penonton, mereka seenaknya saja melebih-lebihkan suatu adegan, misal yang paling mengherankan bagaimana cara setiap korban tewas akibat namanya di tulis di dalam Death Note. Dalam animanga, mereka cukup digambarkan dengan mengalami sakit jantung, berlawanan sekali di versi Netflix yang semua adegan kematiannya mengingatkan kita akan franchise film Final Destination.
Memanfaatkan kepopularitas suatu manga dan mengangkatnya sebagai film sah-sah saja, namun tolong jangan khianati juga penggemar yang setia mengikuti kisahnya dalam bentuk lembar manga. Semoga ini menjadi pembelajaran bagi para sutradara yang ingin mencoba untuk mengadaptasi film dari manga.
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!