Tuesday 28 November 2017

"Wolves don't kill unlucky deer. They kill the weak ones."- Cory Lambert

Plot

Agen muda FBI, Jane (Elizabeth Olsen) ditugaskan untuk menangani kasus pembunuhan di wilayah Wyoming yang menimpa gadis remaja bernama Natalie (Kelsey Asbille). Bekerja sama dengan kepolisian setempat pula, ia turut dibantu oleh pria yang menemukan jasad Natalie pertama kali, Cory Lambert (Jeremy Renner) yang merupakan petugas United State Fish and Wildfire Service. Jane dan Cory memiliki motivasi yang berbeda namun tentu tujuan mereka sama, yaitu secepatnya menangkap pelaku yang bertanggung jawab akan kematian misterius Natalie.





Review

Mungkin nama Taylor Sheredian masih terdengar asing, namun dirinya adalah salah satu pihak dibalik layar yang bertanggung jawab akan cemerlangnya Sicario dan Hell or High Water. Ya, Taylor Sheredian adalah penulis naskah dari dua film tersebut, yang dua-duanya saya sukai akan hasil akhirnya. Tentu saja dengan hasil kerja Taylor di dua film itu pula lah, saya begitu ingin menyaksikan Wind River. Ditambah juga, di departemen aktingnya, ada nama Jeremy Renner yang selalu memuaskan aktingnya (setidaknya untuk saya), terutama di Hurt Locker, serta si cantik Elizabeth Olsen yang tampaknya ingin membuktikan sekali lagi bila dirinya bukanlah aktris bermodalkan tampang semata. 

Sicario dan Hell or High Water memiliki satu kesamaan, yaitu pendekatan pada film tersebut dilakukan dengan perlahan, atau istilah ndesonya adalah slow burning sebelum pada adegan akhir nya, baru lah dihadirkan suatu adegan thrilling yang mampu memaksa mata kalian untuk tidak berpaling sedetik pun dari layar. Apa yang Taylor lakukan disini juga sama, bahkan bisa dibilang Taylor menggabungkan identitas dari Sicario dan Hell or High Water dalam film keduanya sebagai sutradara ini. Unsur slow burning thriller dari Sicario dimasukkan oleh Taylor, bahkan karakter utama perempuannya disini juga digambarkan hampir serupa seperti Kate di Sicario dimana mereka adalah perempuan yang masih begitu "hijau" dan naif dengan pekerjaannya, lengkap pula nuansa western dari Hell or High Water ikut terasa akibat penampilan-penampilan karakter nya disini dengan topi koboi nya. Berkat itu pula, Wind River bisa dibilang film yang bernafaskan neo noir crime. Telah bekerja sama dengan sutradara sekaliber Dennis Villeneuve, tentu sangat membantu bagi Taylor dalam menangani film yang bergerak perlahan tanpa sedikitpun mendatangkan kebosanan. 

Hal itu tidak terlepas dari penanganan Taylor yang memperhatikan detil cerita, serta pintar dalam menggerakkan plot nya yang kembali lagi harus diakui cukup perlahan. Tetapi karena penonton telah tertarik dengan kasus misterinya, penonton pun diajak oleh Taylor untuk sejenak menjadi detektif atau agen bagaikan Jane maupun Cory yang mengumpulkan kepingan-kepingan misteri nya demi mendapatkan jawaban. Kasus misteri di dalam Wind River memang tidak sepelik ataupun luas ruang lingkupnya seperti pada film Sicario, namun berkat itu pula lah yang membuat Wind River tidak terlalu berat untuk diikuti. Bahkan, Wind River memiliki sajian aksi yang sederhana, tetapi berkat pendekatan yang realis dan hadir dalam waktu yang tidak diduga-duga, adegan tersebut berhasil mengejutkan saya dan menjadi sajian aksi yang mendebarkan. Namun salah besar jika kalian menanggap Wind River hanyalah sebuah sajian crime pada umumnya, karena walaupun kisahnya berfokus pada pemecahan misteri pembunuhan, namun ada pula bumbu-bumbu akan diskriminasi ras serta perjuangan hidup yang menyertainya. Disinilah yang menjadikan Wind River sebagai film yang spesial serta powerful yang mungkin mampu membuatmu merasakan pergulatan batin saat menyaksikannya. 

Harus diakui memang, kebanyakan film crime ataupun misteri sejenisnya lebih memfokuskan pada pemecahan kasusnya, sehingga sering kali melupakan orang yang menjadi korban. Padahal, dengan adanya simpati dan keterikatan emosi yang tercipta dari penonton untuk korban, bisa menjadi salah satu faktor utama penonton untuk mengikuti menit demi menit dari film tersebut hingga tuntas. Hal itu lah yang dilakukan Taylor pada Wind River. Ada dua adegan yang mampu membuat saya begitu emosional dan ikut tenggelam, merasakan penderitaan serta perjuangan untuk hidup korban sebelum meregang nyawa. Pertama, percakapan Cory dan Jane di akhir, yang akan saya jelaskan nanti. Kedua, adegan ketika Jane dan Cory mengunjungi rumah orang tua korban merupakan salah satu adegan terbaik dalam film ini. Tidak ada dramatisasi berlebihan yang dilakukan Taylor, cukup dengan menangkap beberapa foto-foto Natalie dengan keluarganya, selagi Jane melakukan dialog dengan ayah Natalie, Martin (Gil Birmingham), sebelum kita diajak untuk menyaksikan adegan yang cukup menghenyak. Dari situlah penonton mulai merasakan kehilangan dari orang tua yang kehilangan putri semata wayang mereka. Kemampuan akting dari Gil Birmingham pun tidak bisa kita lupakan yang turut membantu betapa emosionalnya satu adegan tersebut. Singkat, namun berpengaruh juga dalam mengembangkan dua karakter utamanya, yaitu Jane dan Cory.

Treatment dari Taylor untuk Jane, sekali lagi, memang tidak bisa dijauhkan dari karakter Kate di Sicario. Dua-duanya terjun ke lapangan yang sangat lah asing untuk mereka dan masih memiliki semangat muda yang hanya ingin mencari pembenaran akan kasus yang mereka jalani, tanpa menyadari bila sebenarnya kasus tersebut jauh lebih kompleks dibandingkan apa yang mereka duga sebelumnya. Dalam Wind River, Jane melakukan tugasnya di daerah yang notabenenya diduduki oleh suku Native America, yang jelas memiliki sensitivitas tersendiri terhadap orang kulit putih Amerika. Secara tersirat, Taylor menghadirkan elemen itu tersendiri. Terlihat pada karakter Jane yang beberapa kali mendapatkan sambutan tidak ramah pada awalnya, termasuk dari Martin. Isu seksis pun turut menyeruak kala Jane yang merupakan agen perempuan dianggap tidak akan mampu bertahan lama di daerah bersalju Wyoming. Dua hal ini lah yang menjadi landasan mengapa Jane meminta bantuan Cory. Lihat, hal sepele begini saja diperhatikan oleh Taylor, yang membuktikan dirinya begitu detil dalam menyajikan penceritaan. Saya juga menyukai keputusan Taylor yang tidak menghadirkan kisah cinlok di Wind River, karena tentu saja itu akan merusak karakter family man yang ada pada diri Cory. 

Tanpa mendiskreditkan penampilan menawan dari Elizabeth Olsen disini, terutama saat adegan terakhir lewat ekspresi kegetiran kala menyimak apa yang Cory sampaikan, dan kemudian tangisannya membuncah seraya mengucapkan kalimat "she ran six miles in the snow". She's really doing great, tapi susah untuk tidak terpukau apa yang diperlihatkan oleh Jeremy Renner sebagai Cory disini. Renner tentu saja tidak kesulitan dalam meyakinkan kita bila ia hebat dalam melakukan pekerjaannya sebagai agen pengawas habitat hewan, namun yang luar biasa disini adalah ekspresi nya yang sering kali menahan haru serta penyesalan akan apa yang terjadi pada Natalie. Setiap kalimat yang ia lontarkan yang memiliki keterkaitan dengan Natalie, terdengar meyakinkan serta terselip rasa pedih yang ia rasakan berkat ekspresi muka serta nada dari bicaranya. Kalimat sederhana seperti "That's warrior... That's warrior" begitu dalam makna nya berkat delivery dari Renner. Belum lagi pancaran mata kesedihan yang sering ia pancarkan, terutama kala ia menceritakan kronologis kematian sang putri. Percayalah, momen itu membuat kalian ingin berada di samping Cory seraya ingin menepuk pundak atau bahkan memeluknya. Sebuah sajian akting yang menurut saya layak untuk dihadiahi, minimal, nominasi Oscar. Chemistry yang ia jalin bersama Olsen pun terlihat meyakinkan karena mereka juga telah bekerja sama dalam proyek besar MCU. Aktor-aktor pendukung disini pun menghadirkan penampilan yang tidak bisa diremehkan. Setelah Gil Birmingham, ada juga Jon Bernthal yang walaupun hanya tampil singkat, namun sempat menjadi scene stealer ketika dirinya tampil di layar. Saya mungkin berlebihan, namun karakter seperti ini lah yang tampaknya sangat cocok untuk Jon Bernthal sehingga penampilannya disini telah menyaingi penampilan terbaiknya dalam film Snitch.

Lokasi Wyoming yang dipenuhi salju tidak hanya membantu Ben Richardson sebagai sinematografer untuk menghadirkan pemandangan-pemandangan bersalju yang menyegarkan mata, namun turut pula menebalkan atmosfir terasingnya sehingga penonton ikut merasakan keterasingan yang dirasakan oleh para petugas disini, terutama Jane. Tidak akan ada bantuan, mereka harus terpaksa menyelesaikan kasus pembunuhan tersebut dengan usaha mereka sendiri. Hal ini pula lah yang tampaknya menjadi kritikan tersendiri dari Taylor, ditambah juga sebuah tulisan narasi singkat di akhir nya, yang seolah meneriakkan bila pemerintah Amerika seakan tidak perduli dengan keberadaan penduduk yang sebenarnya adalah penduduk asli Amerika Serikat. 

Pada permukaan, mungkin Wind River hanyalah sebuah sajian crime mystery yang penceritaannya hanya berpusat pada pemecahan kasus, namun Taylor Sheredian mengambil cara yang berbeda dengan memilih untuk juga mengeksplor kondisi yang dialami korban. Baik kalian memiliki kelemahan hati terhadap kasus pemerkosaan ataupun tidak, sulit rasanya untuk tidak mendapatkan pengalaman emosional saat menonton Wind River, sehingga Wind River bagi saya adalah salah satu film terbaik yang ada pada tahun ini.

8,75/10

Wednesday 22 November 2017

"This is the moment where you realize that line between friendship and professional is not what you thought it was" - Jim

Plot

Travis Conrad (Ethan Hawke) harus kembali dari masa hiatus nya akibat organisasi yang menaunginya, Red Mountain, meminta bantu tangannya. Diiming-imingi $ 2 Juta, Travis pun bersedia untuk bertugas kembali. Tugas Travis adalah untuk membunuh mantan agen Red Mountain, Keith Zera (Tyrone Keogh) yang kini menjadi informan penting bagi pemerintah Amerika Serikat yang mengetahui segala kebusukan Red Mountain. Jim dilindungi oleh para agen interpol, yang salah satunya adalah Lin (Xu Qing). Namun, agen-agen interpol lainnya tewas yang disebabkan serbuan mendadak dari pihak Red Mountain di perbatasan Afrika Selatan, meninggalkan Lin yang satu-satunya selamat dari serbuan tersebut. 


 

Review

Tidak butuh waktu lama, 24 Hours to Live telah menunjukkan jati diri mereka sebagai film aksi. Dengan menampilkan adegan baku tembak yang cukup brutal pada bagian pembuka film, sutradara Brian Smrz seolah ingin mengucapkan kepada penonton bila 24 Hours to Live adalah sajian film aksi yang akan dipenuhi dengan adegan aksi. Tentu saja ini yang diharapkan oleh para penonton pecinta film aksi. Namun, Smrz juga tidak ingin menyajikan semua adegan aksi dalam filmnya ini tanpa adanya dasar penceritaan yang kosong. Untuk menambah injeksi ketegangannya, diselipkan lah sebuah narasi yang mengharuskan karakter utamanya memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dalam rangka menyelesaikan tujuannya. Sesuai judulnya, Travis hanya memiliki waktu 24 jam akibat dari kesalahan yang ia lakukan sehingga ia terlibat dengan prosedur rahasia yang sedang dikembangkan oleh Red Mountain.

Rasanya tidak perlu didebatkan lagi bila penceritaan dalam film ini cukup dangkal dan memang hanya dijadikan sebagai landasan untuk gelaran aksi-aksinya. Padahal 24 Hours to Live disokong penulisan naskah yang dikerjakan oleh 3 orang sekaligus, namun rupanya itu tidak cukup untuk mengembangkan penceritaan yang ada di dalam 24 Hours to Live. Tidak ada penjelasan lebih lanjut apa sebenarnya prosedur rahasia yang dialamatkan kepada Travis, minus juga sebenarnya organisasi apa Red Mountain yang digambarkan disini begitu powerfull serta berbahaya  sehingga begitu diburu oleh instansi pemerintah Amerika. Tujuan utama organisasi ini pun tidak begitu jelas. Tetapi sekali lagi, Smrz tampaknya memang ingin memfokuskan filmnya ini pada genre aksi, sehingga saya pun bisa memakluminya. Pasang ekspektasi pada tempatnya saja, dan mungkin kalian bisa menerima segala keanehan yang ada pada film ini. Maklumi saja bagaimana seorang agen perempuan yang sebelumnya tanpa diketahui apakah ia sangat ahli atau tidak, begitu perkasanya bisa selamat beberapa kali dari serbuan beberapa agen profesional. Yah, sebuah dosa yang lazim kita temukan dalam film semacam ini yang melibatkan karakter perempuan sebagai protagonis utamanya. 

Pada adegan aksinya pun sebenarnya tidak ada yang terlampau spesial karena telah banyak film-flim genre aksi yang menampilkan hal yang sama. Mungkin akibat durasi 93 menit nya yang cukup singkat, Smrz tidak memiliki pilihan untuk memutuskan pula mempersingkat adegan-adegan aksinya karena masih ada cerita yang perlu dikembangkan, walau sekali lagi, cerita yang ada pada 24 Hours to Live bisa dibilang cukup stagnan. Padahal banyak sekali sebenarnya adegan aksi yang bisa ditampilkan dalam waktu durasi yang lama. Seperti car chase di tengah pemukiman kumuh, serta pada adegan terakhirnya. Smrz memilih untuk mempercepat semua adegan itu, hingga jatuhnya adegan-adegan aksi disini terasa buru-buru dan sama sekali tidak ada yang memorable, walau susah untuk dikatakan juga bila kita tidak terhibur dengan sajian-sajian aksi tersebut.

Untungnya naskah pada 24 Hours to Live tidak lupa untuk menyuntikkan sedikit backstory pada karakter-karakter utamanya. Dimasukkan lah unsur keluarga pada tiga karakter utamanya, yang membuat kita bisa memaklumi setiap keputusan yang mereka ambil. Karakter Travis sendiri diceritakan bila ia baru saja kehilangan istri dan anaknya, sehingga dengan sentuhan tersebut, saya dan penonton lainnya dipaksa untuk mengerti mengapa Travis memilih untuk tidak menunaikan tugasnya, walau sebenarnya Smrz bisa memberikan pendalaman pada hubungan Travis dan Lin. Juga bisa saja kan diberikan sentuhan sedikit komedi pada interaksi mereka saat baru saja bertemu kembali, sehingga mungkin saja kritikus bisa memiliki alasan untuk sedikit menyukai 24 Hours to Live, toh pada saat ini, sajian ringan dengan sentuhan komedi di dalamnya sedang disukai oleh mereka *cough* MCU *cough. Karakter Lin pun diposisikan sebagai seorang single mother yang memiliki anak laki-laki semata wayang, yang diniati Smrz sebagai alasan untuk penonton supaya bisa mendukungnya. Yang menjadi permasalahan, plot armor yang Smrz serta 3 penulis naskahnya untuk Lin bagi saya sudah berlebihan. Kesalahan ini membuat saya tidak sepenuhnya mendukung Lin, meskipun ia diperani oleh wanita yang seharusnya mudah untuk saya sukai. *Spoiler Alert* Apalagi ia dengan begitu mudahnya sempat "membunuh" Travis yang telah terlibat one night stand dengannya *Spoiler End*

Keputusan Smrz untuk memakai jasa Ethan Hawke sebagai alpha male disini bisa dikatakan tepat sekali. Memang, Ethan Hawke bukanlah bankable actor, namun Hawke memiliki kharisma aktor yang membuat kita mudah untuk mendukungnya. Bahkan bisa saja bila 24 Hours to Live tidak ada perbelokan narasi, penonton tetap akan mendukung Hawke. Hawke juga memiliki kapabilitas akting yang meyakinkan dalam melakukan peran di bagian aksi atau juga saat karakternya dipaksa melakukan akting emosional. Saya tidak bisa untuk tidak simpati kepada Travis setiap saat ia berhalusinasi melihat sosok anaknya atau saat ia mengenang masa-masa kebersamaan dirinya dengan sang istri juga anaknya. Saya pun menyukai sentuhan Smrz pada karakter Jim (Paul Anderson) sebagai sosok antagonis yang tidak kosong. Jim hanyalah pria yang terjebak akan situasi dimana ia harus memilih keluarganya atau persahabatanya dengan Travis. Lengkap pula dengan akting dari Paul Anderson yang kerap memberikan ekspresi subtil nya sehingga meyakini penonton bila Jim tidak lah jauh berbeda dengan Travis.

24 Hours to Live memang bukan jenis film yang bisa memberikan kesan mendalam setelah menyaksikannya, bahkan saya saja saat melakukan tulisan ini, telah hilang sensasi menontonnya. Tetapi jika kalian ingin mengisi waktu kosong kalian dengan sajian film aksi yang bisa memberimu hiburan, 24 Hours to Live bisa menjadi pilihan yang tepat. Apalagi bila kalian menyukai Ethan Hawke seperti saya (Hawke adalah alasan utama saya untuk mencoba film ini).

7/10

Monday 20 November 2017



"The fact is, we all started out as someone's little angle. And a place like this force us to become warriors or victims. Nothing in between can exist here."- Bottle

Plot

Life can change in a matter of seconds. Kutipan itu tepat untuk mendeskripsikan apa yang terjadi pada Jacob "Money" Harlon (Nikolaj Coster-Waldau), dimana kecelakaan yang ia alami mengharuskan dirinya untuk mendekam di penjara karena kejadian tersebut menewaskan temannya dan ia pun divonis bersalah karena sedang mengemudi dalam keadaan mabuk. Kehidupan penjara yang jelas saja sangat keras mengubah karakter Jacob. Tidak akan pernah terlintas dalam pikirannya bila ia akan terlibat perang antar geng serta dunia kriminalitas.




Review

B-movie kerap kali dipandang sebelah mata dalam soal penceritaan. Seringkali memang film-film berjenis ini mengorbankan cerita demi mempertontonkan apa saja yang diharapkan penonton, baik itu sajian aksi, gore, atau apapun berdasarkan genre filmnya. Ric Roman Waugh sepertinya ingin membantah hal itu dengan menghadirkan karyanya ini, Shot Caller. Sebuah film kriminal yang lebih memfokuskan pada narasi, character development untuk karakter utama dan menghemat gelaran aksi yang biasanya menjadi sajian utama untuk film genre kriminal. Keputusan yang berisiko, namun sang sutradara untungnya memiliki kapabilitas mumpuni untuk menghadirkan sinema yang lebih memfokuskan pada penceritaan, sehingga Shot Caller menjadi salah satu film underrated tahun ini yang layak untuk Anda saksikan.

Pergerakan narasi yang Roman Waugh lakukan dalam Shot Caller hampir sama seperti apa yang dilakukan oleh Tony Kaye di American History X. Terdapat 2 narasi berbeda dalam Shot Caller, yaitu pertama kehidupan Jacob a.k.a Money bebas dari hukuman penjara dan kedua masa-masa ia menjalani kehidupan dalam penjara. Tentu gaya narasi seperti ini memiliki tujuan tersendiri. Saya mengasumsikan dua narasi berbeda ini memiliki tujuan untuk pengembangan karakter pada Money, dan diajak untuk mengerti bagaimana kehidupan penjara yang berat mengubah pandangan hidup Money. Tempaan hidup yang kejam di dunia penjara memaksa Money untuk bisa beradaptasi, dan bahkan ia mampu melakukannya dengan baik berkat pemikirannya yang cerdas. Money yang awalnya ia seorang pialang saham biasa yang bahkan tidak bisa bermain basket serta kalah adu bodi dengan mudahnya akibat tubuhnya yang biasa-biasa saja, bertransformasi menjadi tahanan penjara yang berhasil mendapatkan hormat dari teman-teman antar gengnya. 

Sayangnya yang menjadi persoalan adalah, Roman Waugh masih minim dalam menampilkan kekejaman yang ada dalam dunia penjara. Masih ada memang perkelahian antar tahanan, ataupun juga kekerasan seksual juga tampil disini walaupun tidak disajikan secara eksplisit, namun bagi saya apa yang diperlihatkan dalam Shot Caller masih lah kurang. Karakter Money saja ketika baru memulai hidupnya di penjara hanya terlibat perkelahian kecil. Minimnya tampilan kekejaman yang terjadi pada Jacob dalam penjara tentu membuat saya bertanya-tanya bagaimana bisa Money memiliki nyali besar sehingga ia menjadi orang yang cukup berpengaruh di dalam ataupun di luar penjara. Bahkan teman satu penjaranya, Shotgun (Jon Bernthal) pun begitu menyegani Money saat Money telah bebas dari penjara. 

Keunggulan utama dalam Shot Caller adalah treatment sang sutradara terhadap Money. Ya, keputusan untuk menghadirkan dua narasi yang berbeda itu tentu berdampak besar pada karakter Money. Karakter Jacob sebelum mendapatkan nama panggilan Money hanyalah pria biasa, namun akibat tuntutan serta tidak ingin kehidupan nya sebagai tawanan menjadi mimpi buruk untuknya, Jacob harus bertahan dengan mengikuti segala peraturan tidak tertulis yang ada di dalam penjara. Namun, walau pun Money telah jauh berubah, hatinya tetaplah sama dan dalam pikiran serta relungnya, bayangan orang-orang terkasihlah yang senantiasa muncul. Money sadar untuk menjamin keselamatan anak dan istrinya, Money perlu melakukan hal yang besar dan dari tempaan yang berat dalam penjara, Money mampu menyelami hidup kriminalitas dan berhasil menjadi orang yang terpandang di dunia tersebut. Dari pengalaman itu pula lah, Money bisa bergerak mandiri dan lebih cepat peka apabila terjadi hal yang tidak beres. 

Nikolaj Coster-Waldo jelas menjadi bintangnya disini. Ia sukses memerankan dua tipe karakter yang berlawanan, dari seorang pria kantoran biasa hingga menjadi kriminal yang disegani. Nikolaj begitu meyakinkannya ketika ia mengintimidasi lawan bicaranya dengan hanya ucapan serta tatapan matanya yang tajam. Hebatnya juga ia bisa memerankan seorang ayah yang memendam kerinduan akan keluarganya. Sulit membayangkan bagaimana pada awal-awal seri Game of Thrones berjalan, aktor dari Denamrk ini yang memerankan Jamie Lannister senantiasa masuk dalam list aktor terburuk yang bermain dalam Game of Thrones. Tentu saja bila ia terus konsisten dalam berakting, karirnya di Hollywood akan terjamin.

Mengenai adegan aksinya, Roman Waugh memang menyajikannya sedikit, namun cukup efektif karena Roman Waugh sama sekali tidak pelit dalam memperlihatkan kekerasan dan juga darah. Sekali lagi, Shot Caller bukanlah film yang didalamnya terdapat sajian aksi yang tumpah ruah. Ini adalah film observasi mengenai karakter yang terjebak dalam kehidupan kriminal dan bagaimana ia mampu mengatasinya. Memang masih terdapat sedikit kelemahan bila ditilik dalam hal cerita, namun kelemahan itu sedikit tertutup kala Roman Waugh menghadirkan karakter keren bernama Jacob "Money" Harlon yang diperankan brilian oleh Nikolaj Coster-Waldo.

8/10

Friday 17 November 2017


"They're just things I wanted to remember so that I ever wanted to go back, there'd be a piece of me there waiting"- M

Plot

Menceritakan pasangan suami istri, C (Casey Affleck) dan M (Rooney Mara). Akibat kecelakaan yang menimpanya, C pun tewas di tempat, meninggalkan M sendirian. Namun walau telah meninggal, roh C ternyata masih tetap di dunia dan memilih untuk menghabiskan waktunya untuk memperhatikan kehidupan M sehabis ditinggal oleh C.






Review

Saya sempat mengira film ini adalah film horor konvensional setelah melihat judul filmnya. Apalagi pada adegan pembukanya, sang sutradara selaku penulis naskah, David Lowery telah menampilkan suara misterius di kediaman C dan M. Rumah yang ditempati mereka juga lumrah sekali kita lihat di berbagai film-film horor. Dugaan tinggallah dugaan karena ini adalah kisah sederhana mengenai cinta beda dunia, dengan sosok "hantu" sebagai kamuflasenya. Lengkap pula dengan gaya penyutradaraan Lowery yang membuat A Ghost Story cukup segmented dan tidak mudah untuk diikuti.

Saya bukanlah penggemar film-film arthouse, bahkan saya adalah salah satu penonton yang tidak menyukai, bahkan membenci film-film beralur sangat lambat seperti 2001: A Space Odyssey dan Tree of Life yang dicintai kritikus-kritikus. Maka ketika akhirnya mulai sadar akan pendekatan Lowery yang menjurus ke arah arthouse, disitu juga saya rasanya ingin menghentikan perjalanan saya bersama A Ghost Stroy. Sunyi, minim dialog, bahkan juga ekspresi para pemain cukup minim, telah cukup untuk membuat saya ingin menyerah. Lowery juga tidak sungkan untuk mengambil gambar dalam one take yang sunyi, hanya memperlihatkan karakter yang ada beraktivitas biasa dalam satu adegan. Pendekatan Lowery ini seketika mengingatkan saya akan sutradara Steve McQueen yang juga memiliki gaya pendekatan yang tidak jauh berbeda. Bahkan pada one take itu sendiri juga sama persis seperti apa yang dilakukan McQueen, namun bedanya, McQueen masih cukup dermawan dengan memperlihatkan ekspresi dari lakonnya, tidak dengan Lowery yang lakukan disini. Adegan Rooney Mara memakan pie pemberian temannya dalam film ini sukses membuat saya menguap hingga 2 kali. Padahal saya baru saja habis mandi saat memutuskan menonton A Ghost Story. Intinya, sekali lagi, A Ghost Story adalah jenis film yang tidak mudah diikuti.

Lalu, apakah ada esensinya akan keputusan Lowery tersebut? Saya tidak tahu jawabannya, yang jelas, selain kebosanan, saya seolah dipaksa untuk ikut merasakan apa yang dialami oleh sang "hantu" berkat keputusan Lowery disini. Kesepian juga rasa kesal yang tidak mampu berbuat apa-apa melihat sang kekasih di depan mata sukses membuat saya prihatin dengan apa yang dialami C. Apalagi melihat kenyataan dimana arwah C harus menanti begitu lama sebelum akhirnya ia mendapatkan jawaban yang mampu membuat dirinya tenang. Sebuah kisah yang penuh ironi dari hasil cinta yang begitu besar. A Ghost Story juga memaksa penontonnya untuk bermain akan asumsi disini, terutama pada saat film meloncat dari waktu ke waktu lainnya. Yang membuat kesal lagi adalah Lowery cukup pelit untuk memberikan jawaban yang gamblang kepada penonton, yang membuat saya merasa sia-sia saja setelah menanti begitu sabar dengan alur nya yang begitu lambat.

Untungnya ada satu hal yang membuat saya sedikit betah dan menguatkan diri saya untuk menahan pantat ini beranjak dari kursi dan melupakan film ini, yaitu soundtrack dari David Hart. Soundtrack nya mampu menangkap mood cerita dan apa yang terjadi di layar dengan cemerlang, baik itu kesan creepy dan juga ironi. Favorit saya adalah saat keputusan M meninggalkan rumah nya. Sosok arwah C yang berbalutkan seprei putih itu juga mampu menciptakan suasana kelam nan sedih setiap kehadirannya. 

Rooney Mara bermain bagus seperti biasa, walau bagi saya memang ini bukanlah tantangan yang berat untuk Mara. Mara berhasil menampilkan ekspresi-ekspresi kesedihan yang subtilnya. Tetapi bagi saya kredit lebih harus diberikan kepada Casey Affleck yang harus rela tampil menutupi dirinya dengan seprai. Ruang untuk bergerak tentu minim, ditambah dirinya tidak bisa menampilkan ekspresi-ekspresi wajahnya. Namun bagi saya perjuangan akting Casey disini juga seolah menggambarkan makna dari A Ghost Story itu sendiri. Pengorbanan yang besar namun tidak tampak yang dilakukan Casey selaras sekali dengan karakter C yang melakukan penantian tak lekang oleh waktu namun tak bisa dirasakan oleh orang terkasih. A Ghost Story memiliki begitu banyak makna akan cinta juga penantian, namun sayangnya, sulit untuk menyukai film arthouse seperti ini, paling tidak untuk saya.

6,75/10

Monday 13 November 2017


"I'm the gringo who always delivers" - Barry Seal

Plot

Barry Seal (Tom Cruise) adalah salah satu pilot pada maskapai penerbangan TWA (Trans World Airlines). Suatu hari ketika Barry selesai bekerja, ia didatangi seorang pria bernama Schafer (Domnhall Gleeson) yang menawarkan Barry untuk bekerja sebagai pilot CIA. Scahfer sendiri terkesan melihat kemampuan Barry dalam menyelundupkan barang dari tempat ke tempat lainnya, memanfaatkan profesinya sebagai pilot. Barry tertarik dengan tawaran tersebut dan tidak lama dari hari itu, ia pun bergabung dengan CIA. Awal-awal bekerja menjadi pilot CIA, Barry hanya ditugaskan untuk terbang ke berbagai negara yang dicurigai memiliki kekuatan untuk memberontak sembari mengumpulkan bukti demi bukti dalam wujud foto. Namun lama kelamaan, Barry mulai terlibat dengan dunia kriminalitas dari negara lain, terutama kartel narkoba dari Kolombia.





Review

Bekerja, ataupun melayani negara tentu merupakan impian besar dari sebagian penduduk negara. Makanya setiap kali anak SD ditanya apa cita-cita mereka, pasti tidak lah jauh ingin menjadi tentara ataupun polisi. Saya sendiri ketika SD pun memiliki cita-cita yang sama, dan saat usia bertambah serta lebih mengenal dunia, mimpi itu semakin pudar. Ya, semua instansi yang dinaungi oleh pemerintahan negara tidaklah sebersih dan sekeren yang kita impikan pada masa kecil. Para kreator film dari Hollywood tampaknya memiliki pandangan yang sama sehingga tak henti-hentinya bermunculan lewat karya mereka, para kreator menunjukkan kebusukan-kebusukan yang dimiliki instansi pemerintah Amerika, yang kebanyakan tentu saja CIA (lihat saja trilogy Jason Bourne dan Safe House yang baru-baru ini saya tonton). Doug Liman yang mana di tahun 2014 mengejutkan penonton dengan Edge of Tomorrow nya yang luar biasa entertaining itu pun seolah ingin mengikuti sutradara-sutradara sebelumnya dengan American Made ini. Namun bedanya adalah, bila franchise Jason Bourne maupun Safe House diangkat dari kisah fiksi, Liman mengangkat kisahnya dari cerita nyata yang dialami oleh Barry Seal sendiri. Film ini saya yakini akan meningkatkan kebencian kalian kepada negara Amerika Serikat.

Ketika mendengar Liman melibatkan CIA di dalam filmnya, kalian mungkin akan berpikir bila American Made adalah film yang berat, memaksamu berpikir akan intrik maupun konspirasi politik di dalamnya. Namun nyatanya tidaklah demikian. Bila di Edge of Tomorrow, Liman berhasil membuat kita menertawakan kesialan karakter utamanya yang harus mati berulang kali, dengan American Made nya ini pula kita terpaksa merasa terhibur akan petualangan gila yang dialami Barry Seal. Bayangin, Barry bekerja di naungan CIA, kartel narkoba, bahkan White House sekaligus dalam periode 4 tahun!! Suatu cerita yang gila, namun tentunya bahan material yang sangat menarik untuk diangkat dalam media film.

Masih ada mengenai isu politiknya, bahkan Liman pun tidak sungkan menyelipkan kepingan-kepingan footage untuk membantu narasinya. Tetapi Liman memilih untuk tidak memperdalam isu politik dalam filmnya ini. Bersama Gary Spinelli yang duduk di bangku penulis naskah, Liman lebih memilih untuk tetap fokus pada kehidupan Barry dalam tugasnya menyelundupkan barang-barang dalam tugasnya mengabdi negara. Barang-barang yang diselundupkan Barry tentu bukanlah barang sembarangan. Ia harus menyelundupkan obat terlarang dan juga bahkan senjata-senjata, tanpa diketahui bila sebenarnya Barry tidak sepenuhnya dilindungi oleh CIA. Bahkan dalam "misi" penyelundupan yang ia jalani, Barry seringkali harus berurusan dengan instansi lainnya macam DEA atau FBI. Pekerjaan Barry yang beresiko tinggi tentu pula berdampak akan keuntungan yang diperoleh Barry. Uangnya menumpuk, bahkan ia kesulitan mencari tempat untuk menyimpan uangnya karena saking banyak nya uang yang ia hasilkan. Pada momen ini, American Made sempat mengingatkan saya akan karya klasik dari Martin Scorsese yaitu The Wolf of Wall Street, minus akan gaya hidup hedon serta gelaran wanita-wanita telanjang pastinya. Bisa saja American Made menjadi film yang thrilling, namun kembali lagi, Liman meniati American Made sebagai sajian yang cukup ringan. Bahkan di saat momen-momen menegangkan pun, Liman masih menyelipkan sedikit suntikan humor di dalamnya, cukup efektif, apalagi pada saat momen penangkapan Barry, walau belum bisa menyaingi apa yang Liman lakukan di Edge of Tomorrow.

Yang saya sukai adalah penggambaran pada karakter Barry Seal. Memang ia bekerja pada negara, tetapi fokus utama Barry tetaplah keluarganya. Bahkan mungkin saja pertimbangan utama Barry untuk bersedia menerima ajakan Schafer adalah mendapatkan pendapatan yang lebih demi menghidupi keluarganya, apalagi sang istri, Lucy (Sarah Wright), baru saja melahirkan anak kedua mereka.  Karakter Lucy pun cukup menarik perhatian dengan kesetiaan serta cinta nya yang besar terhadap sang suami. Walau dengan fisik rupawan yang tentu saja mudah baginya untuk mendapatkan kembali pendamping, Lucy tetap menemani Barry dalam kesulitan yang tengah Barry hadapi yang bagi saya membuat American Made tetap kental dengan aroma kekeluargaan. Justru Liman tanpa sungkan-sungkan menempatkan pemerintahan Amerika Serikat sebagai sosok antagonist disini. Bukan pelaku kartel, namun pemerintah yang hanya memikirkan agenda mereka tanpa memedulikan rakyat-rakyatnya, termasuk orang yang tengah mengabdi pada mereka seperti Barry. 


7,75/10

Thursday 9 November 2017


"Life's better with company"- Ryan Bingham

Plot

Ryan Bingham (George Clooney) memiliki pekerjaan yang mungkin banyak dibenci oleh karyawan-karyawan perusahaan. Bagaimana tidak, Ryan bekerja di suatu perusahaan yang menyediakan jasa kepada perusahaan yang tidak memiliki keberanian dalam memecat karyawan mereka sendiri. Ryan adalah salah satu karyawan eksekutif dari perusahaan tersebut, dimana Ryan berpergian dari satu kota ke kota lainnya untuk memecat karyawan dari perusahaan lain. Butuh keberanian serta kemampuan yang di atas rata-rata memang untuk bisa betah menjalani pekerjaan itu, namun ternyata Ryan malah menikmatinya. Bekerja dengan berpindah-pindah kota bukanlah problem yang besar untuknya, bahkan Ryan menganggap bandara serta pesawat yang ia tumpangi telah menjadi rumah baginya. Namun kesenangan Ryan tampaknya harus berakhir akibat kehadiran karyawan muda bernama Natalie Keener (Anna Kendrick). Natalie memilliki gagasan bila pekerjaan yang dilakukan Ryan dan lainnya bisa dituntaskan lewat saluran internet yang mampu membuat mereka langsung berkomunikasi dengan calon karyawan yang akan di pecat (intinya kayak Skype). Tanpa perlu melakukan perjalanan dan cukup hanya dengan laptop saja, mereka tetap bisa melakukan pemecatan. Gagasan Natalie ini tentu saja diterima oleh bos Ryan, Craig (Jason Bateman), karena bisa menekan anggaran pengeluaran perusahaan. Namun tidak untuk Ryan, yang menganggap Natalie belum memahami pekerjaan yang ia lakukan. Sebagai win-win solution, Craig meminta Ryan untuk menjadi pembimbing untuk Natalie dan membiarkan Natalie mengikuti Ryan dalam melakukan pekerjaan. Di satu sisi, di tengah perjalanan sebelumnya, Ryan sempat bertemu dan dekat dengan wanita yang sama persis pekerjaannya seperti Ryan bernama Alex (Vera Farmiga).




Review

Bagi pekerja kantoran, pemecatan tentu bagaikan akhir dunia untuk mereka. Ya bayangkan saja, kehidupan sehari-hari yang biasanya di habiskan bekerja lalu sumber pendapatan mereka tiba-tiba lenyap begitu saja dalam hidup mereka.  Saya pernah merasakan bagaimana tidak enaknya tidak di pecat, dan memang benar, seolah tiada hari esok dalam pikiran. Dan saya pun bisa memahami, bukanlah pekerjaan yang enteng melakukan apa yang dilakukan Ryan di dalam film ini. Saya juga rasanya tidak habis pikir jika memang jenis pekerjaan ini benar-benar ada di dunia nyata. Pekerjaan yang dilakukan Ryan memang seolah menjadi pusat cerita dalam Up in the Air, bahkan di awal film saja telah disajikan kilasan para karyawan yang protes atau tidak terima dirinya dipecat. Namun sang sutradara, Jason Reitman (yang mengangkat namanya lewat film Juno) ternyata memiliki pesan cerita utama yang sempat tersembunyi di awal-awal film. Kisah pekerjaan Ryan dihadirkan sebagai jembatan untuk mempelajari akan pentingnya nilai keluarga dalam kehidupan.

Fokus utama penceritaan tentu adalah Ryan. Dari awal penonton diajak mengetahui bagaimana perspektif Ryan mengenai menjalani hidup, termasuk penilaiannya dalam membangun keluarga. Ryan tidak memiliki rumah, dan juga tidak ingin menikah. Intinya, Ryan tidak ingin ada kata "komitmen" hadir dalam hidupnya, dan prinsip itu juga lah yang mungkin membuatnya begitu ringan dalam menjalankan pekerjaannya sehari-hari. Bahkan mungkin saja berkat kehidupannya yang seakan tidak memiliki keterikatan dengan orang lain, membuat dirinya tidak memiliki kepekaan terhadap orang-orang yang nantinya akan ia pecat. Secara tidak langsung, prinsip tersebut membantunya dalam berkarir. Namun, Ryan tetaplah manusia pada umumnya, manusia sosial yang membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Dan disinilah peran karakter Alex dan Natalie.

Natalie dan Alex merupakan dua wanita yang berbeda. Natalie yang "hijau", tentu masih memiliki kenaifan dalam dirinya sedangkan Alex yang jauh berpengalaman, ya tidak jauh berbeda dengan Ryan, yang lebih menganggap santai akan apa yang terjadi pada hidup nya. Namun dua wanita ini memberikan pengaruh akan character development dalam diri Ryan. Siapa yang menyangka bila pendapat-pendapat naif dalam diri Natalie perlahan merasuki dalam diri Ryan, Ketika Ryan mulai menyadari akan kekeliruannya, disitulah karakter Alex mengambil peranan. Kembali lagi, Ryan dan Alex bagaikan dua sisi koin, mereka memilki pekerjaan serta pandangan yang sama. Bisa dimengerti apabila mereka tertarik satu sama lain, apalagi Ryan yang mungkin telah lama tidak ada perempuan yang mampu menggetarkan hatinya. Ketika dua karakter ini berpengaruh untuk Ryan, tinggal momen nya saja yang pada akhirnya akan meruntuhkan segala prinsip yang Ryan anut selama hidupnya. Momen yang telah disiapkan Reitman tersebut memang harus diakui sederhana, namun begitu mengena hingga mampu membuat penonton memaklumi bila Ryan akhirnya mengubah pola pikirnya selama ini.

Di atas kertas, mungkin kita menganggap bila Ryan adalah karakter yang menyebalkan. Disinilah fungsi seorang George Clooney Clooney adalah aktor yang memiliki kharisma yang luar biasa, baik kala ia berbicara ataupun hanya berdiam diri, sehingga Clooney telah memiliki standar yang tepat unutk memerankan seorang Ryan Bingham. Tidak cukup hanya itu, Clooney menambahinya dengan sentuhan hati pada karakter Ryan. Ryan diperankannya tidak menjadi robot berjalan, dengan subtil ia bisa menunjukkan kekecewaan seorang Ryan, salah satu contohnya adalah ketika ia menempel foto-foto yang ia susah payah dapatkan demi sang adik. Tidak perlu ekspresi berlebihan, hanya subtil yang ia tunjukkan, namun itu telah cukup mengena ke penonton dan penonton tahu bila apa yang Ryan rasakan adalah sedikit kekecewaan. Penampilan mengesankan juga ditampilkan oleh Vera Farmiga dan Anna Kendrick. Khusus Anna Kendrick, apa yang ia tampilkan disini begitu mengejutkan karena saya yakin, aktingnya sebagai Natalie disini jauh melampaui ekspektasi para penonton. Kendrick membuat karakter Natalie begitu menyenangkan. Dengan kenaifannya lalu cerdas, mudah penonton untuk menyenangi Natalie. Puncaknya ketika ia menangis dengan cara yang begitu kekanak-kanakan, namun cukup untuk membuat kita ingin segera memeluk dan menenangkannya.

Up in the Air memang memiliki dasar cerita yang berat, namun Reitman tetaplah Reitman. Dengan naskah yang ia buat, Up in the Air terasa ringan berkat interaksi antar karakternya yang menarik sekali untuk diikuti. Tidak jarang dari interaksi mereka, muncul kalimat yang menggelitik, seperti sindiran Ryan terhadap Natalie kala ia curhat dengan Alex. Hal ini juga yang berpengaruh besar mengapa Up in the Air yang memiliki durasi 109 menit terasa begitu cepat berlalu.

Lalu, apa korelasinya dengan pekerjaan Ryan yaitu memecat orang dengan nilai keluarga yang diangkat oleh Reitman? Sebagian besar ketika karyawan dipecat, apa yang terlintas di benak pertama kali adalah raut kekecewaan keluarga. Merasa diri tak berguna, juga tidak sanggup untuk menatap wajah orang yang kita kecewakan tersebut. Namun, disitulah poinnya, disaat tersulit, disaat diri menyentuh titik nadir, akan selalu ada kehadiran dan kehangatan keluarga yang siap menampungmu dan membawa diri kita untuk bangkit kembali. Itulah keluarga. Mungkin kita sering bertengkar dengan ayah ataupun ibu, saudara, namun mereka akan selalu ada, tidak perduli kita sedang berbahagia ataupun sedih. Dengan dasar cerita mengenai akan pemecatan itu pula, kilasan testimoni di akhir begitu bermakna. Kredit lebih juga rasanya layak diberikan kepada aktor-aktor figuran yang memerankan karyawan-karyawan yang dipecat dalam film ini. 

Up in the Air itu bagaikan film mengenai studi karakter. Menceritakan pria yang tidak ingin menanggung komitmen dalam hidupnya, namun perlahan-lahan mulai merenungi bila dirinya tetaplah membutuhkan seseorang disampingnya dan tetap tidak mampu melawan serangan dari yang namanya kesepian. Memiliki pesan yang begitu bermakna di dalamnya, namun tetap Reitman membawakan filmnya ini dengan santai ya setidaknya kala seorang Ryan belum diserang baper di 3/4 akhir film. 

8,5/10

Wednesday 8 November 2017


"Well, to tell you the truth, I lied a little"- J.J Gittes

Plot

Setelah membantu Curly (Burt Young) mengungkap kebenaran perselingkuhan istrinya, detektif swasta J.J Gittes (Jack Nicholson) kembali harus menerima permintaan kasus perselingkuhan dari seorang wanita yang mengaku istri dari Hollis Mulwray (Darrel Zwerling). Wanita tersebut meminta Gittes untuk menyelidiki Hollis. Hollis sendiri merupakan chief engineer dari departemen Water and Power di Los Angeles. Awalnya, Gittes menolak permintaan wanita itu, namun wanita tersebut bersikeras sehingga Gittes pun akhirnya menerima permintaan kasus ini. Gittes pun mengikuti Hollis dan memang benar bila Hollis bertemu dengan gadis muda. Gittes mengabadikan momen-momen kedekatan Hollis dan gadis itu lewat foto. Foto-foto tersebut terpublis dalam media koran, sehingga kasus perselingkuhan Hollis pun menjadi skandal. Tanpa disadari Gittes bila wanita yang menyewa jasa nya adalah bukan istri dari Hollis Mulwray, karena istri yang sebenarnya, Evelyn Mulwray (Faye Dunaway) secara langsung mendatangi kantor Gittes dan berencana melayangkan gugatan kepada Gittes.




Review

Sebenarnya, pertama kali saya menonton Chinatown telah lama sekali, mungkin sekitar tahun 2012 an, namun kala itu saya belum terbiasa dengan tontonan yang memiliki jalan cerita yang cukup memeras otak, jadi nya saya tidak bisa melahap habis Chinatown dan sama sekali tidak tertarik untuk menonton ulang, paling tidak setelah beberapa waktu belakangan, ketertarikan saya untuk menonton ulang film yang disutradarai oleh Roman Polanski ini kembali hadir, saya juga tidak tahu apa faktor yang mendasarinya, namun yang pasti keputusan saya ini tidak saya sesali karena akhirnya saya bisa memahami mengapa Chinatown banyak dianggap oleh kritikus-kritikus film ternama sebagai salah satu film terbaik yang pernah dibuat.

Sekali lagi, Chinatown, menurut saya, jelas bukanlah film yang ringan. Mungkin bila kalian membaca dari plot nya saja, kalian langsung bisa mengasumsikan bila pendapat saya berlebihan, tetapi saya katakan saja, plot Chinatown jauh lebih luas dari sekedar kasus perselingkuhan seorang laki-laki. Itu hanyalah pembuka saja, sebelum kita diajak Polanski menuju ke plot utamanya, yaitu konspirasi mengenai kasus kekeringan yang terjadi di Los Angeles. Setting yang dipakai dalam film ini adalah sekitar tahun 1930-1940an, namun sang penulis naskah Robert Towne terinspirasi akan kekeringan yang melanda Amerika Serikat pada periode 1970an sehingga kekeringan pun menjadi dasar plot dari Chinatown. Nah, hal ini pula lah yang menjadi faktor utama mengapa Chinatown bukanlah film yang ringan. Saya yang cukup pede dengan pengalaman menonton saya pun masih merasa kasus kekeringan yang diangkat di Chinatown belum lah saya mengerti sepenuhnya. 

Walau begitu, saya bisa melihat usaha dari Polanski dan Towne untuk menyajikan kasus tersebut sedetil dan serapi mungkin. Semua hal yang diangkat dalam Chinatown terdapat poin tertentu dan juga memiliki keterkaitan dari suatu akibat yang akan terjadi selanjutnya. Bahkan hal kecil seperti keluarga Mulwray yang mempekerjakan etnis Cina sebagai pembantu rumah tangga mereka pun memiliki alasan tertentu. Intinya, perhatikan setiap kalimat yang dikeluarkan, dan tidak lupa pula detil-detil kecil yang telah disiapkan oleh Polanski. Tenang, Polanski masih berbaik hati dengan menunjukkan sesuatu yang bisa menjadi bukti ataupun kunci plot nya dengan cukup gamblang. Setelah memiliki dasar cerita yang mungkin tidak terlalu dipahami oleh sebagian besar penonton, Chinatown juga bergerak dengan perlahan, namun Polanski tentu tidak ingin penontonnya jatuh kebosanan karena kembali lagi, setiap apa yang terjadi memiliki poin tersendiri. Justru menurut saya itu adalah keputusan tepat, karena Polanski seolah memberikan waktu sejenak untuk mencerna dan mengingat clue-clue apa saja yang sebenarnya Polanski perlihatkan di tiap-tiap menitnya. 

Fokus cerita Chinatown jelas adalah J.J Gittes. Plot bergerak berdasarkan apa yang diketahui oleh Gittes, maka ketika Gittes mendapatkan satu bukti, film juga bergerak ke tempat Gittes hampiri untuk memperkuat buktinya ataupun juga untuk mendapatkan bukti yang baru. Jelas ini adalah suatu hal yang menyenangkan mengenai hiburan yang berbau detektif. Penonton diajak untuk bertanya-tanya ataupun menebak jawaban sesungguhnya dari kasus yang tengah ditangani oleh Gittes. Dan ketika Chinatown bergerak menuju akhir, saya yakin kita semua tidak memiliki jawaban gila yang telah dipersiapkan Polanski dan Towne. Mengingat Chinatown rilis tahun 70an awal, saya membayangkan bagaimana reaksi penonton pada saat itu. Mungkin bila ditilik di zaman sekarang, twist tersebut tidak terlalu mengguncang jiwa, namun ini di tahun 70-an, dimana mungkin saja adegan sex scene dalam film saja mungkin masih dianggap tabu, apalagi hal "itu". Saya sendiri pun terguncang dengan jawaban tersebut, meski sebenarnya saya telah menemukan "itu" di banyak film, tetapi tetap saja, jawaban tersebut berhasil membuat saya terhenyak. Polanski dan Towne pintar dalam menyembunyikan twist nya. Clue juga sesungguhnya telah diberikan Polanski lewat gestur tubuh dari Evelyn Mulwray.

Mengenai Evelyn Mulwray, Faye Dunaway memerankannya dengan luar biasa. Dunaway tidak hanya memainkan gesturnya, namun juga dari ekspresi yang memberikan kesan misterius, tanpa harus menanggalkan keanggunan khas ala wanita berkelas. Kita mengetahui bila sosok Evelyn memiliki jawaban kunci dalam dirinya, dan semua bukti juga seolah mengarahkan Evelyn adalah antagonis dalam film ini. Tetapi berkat penampilan Dunaway, penonton mudah mencintai dan mendukung Evelyn. Rasa perduli pun tidak sulit untuk kita sumbangkan pada karakter ini. Dunaway tidak sendirian, karena Jack Nicholson sebagai garda terdepan juga memberikan penampilan yang tidak kalah hebatnya. Sebagai Gittes, Nicholson menunjukkan bagaimana karakter protagonis seharusnya dimainkan.

Pada masa sekarang, sulit sebenarnya menemukan protagonis yang mudah didukung oleh penonton. Karena itu karakter Gittes bisa menjadi contoh bagaimana karakter protagonis utama mudah mendapatkan dukungan dari penonton. Terdapat kompleksitas tersendiri yang ada di dalam diri Gittes. Judul Chinatown sendiri merujuk pada masa lalu Gittes semasa ia masih bertugas sebagai polisi yang ditugaskan di daerah Chinatown. Hal ini pula yang mendasari akan bermaknanya kalimat "Forget it, Jake. It's Chinatown" di akhir film. Gittes masih memiliki kenaifan dalam nilai keadilan, kenaifan yang mendorong dirinya melakukan keputusan untuk meninggalkan kepolisisan. Kala ia mengungkapkan tujuannya untuk menangkap semua orang yang menjadi dalang dari kasus besar yang ia hadapi pun ditanggapi tawa oleh dua asistennya, namun Gittes tidak goyah dan ia memang serius ingin menangkap dalang nya. Sentuhan Polanski pada karakter Gittes juga tidak bisa diabaikan, seperti Gittes yang selalu memperlihatkan gentleman nya kepada setiap wanita yang ia temui, kecerdasannya sebagai private eye tidak pernah dilupakan oleh Polanski. Dari luar Gittes tampak laki-laki yang kuat, namun tetap saja memiliki kelemahan di dalam hati nya. Kala ia merasa terkhianati kepercayaannya, Gittes tidak malu menunjukkan kekecewaannya. Tidak berlebihan rasanya bila J.J Gittes adalah salah satu karakter protagonis terbaik yang pernah hadir dalam sejarah dunia perfilman. Nicholson, sekali lagi, sempurna sebagai Gittes seolah memang karakter J.J Gittes tercipta untuk dirinya. 

Dari judulnya, Polanski seperti ingin menggambarkan ketidak adilan hidup dalam film Chinatown. Pemegang kekuasaan bisa berbuat seenaknya dan tak tersentuh walau melakukan tindakan kriminal, Poin yang ikut membantu mengapa Chinatown layak menyandang status film klasik dan tetap bisa dinikmati walau kini telah berusia 43 tahun. Disokong cerita yang begitu rapi, kental dengan aroma noir serta misterinya yang cocok bagi kalian menyukai hiburan berbau detektif, ending memorable dan tidak ketinggalan performa meyakinkan dari Nicholson-Dunaway, semuanya bergabung menjadi satu dalam mementuk film klasik berjudul Chinatown.

9/10

Tuesday 7 November 2017

Sebelum mencintai dunia perfilman, pelarian saya untuk menghibur diri adalah musik. Periode SMA, saya menggemari musik dari Padi yang sampai saya buat artikel disini. Melihat perkembangan industri musik di Indonesia sedikit menyedihkan, ditambah Padi masih vakum entah sampai kapan, saya sedikit melupakan musik. Walau memang sebagian besar personil Padi menciptakan mini project mereka dengan mendirikan Musikimia (saya suka Musikimia, tetapi tentu saja berbeda dengan Padi), juga Piyu yang bersolo karir dan bekerja sama dengan musisi-musisi muda, tetap saja saya merindukan mereka bersatu dan bermusik di bawah naungan nama panji besar Padi. Memasuki periode 2013-an, saya mulai tergila-gila dengan industri film, sampai tergerak untuk membuat blog pribadi yang membahas film-film yang telah saya tonton. Mendengar musik sedikit terlupakan, sampai saya mendengar kembali dua band yang seolah mengingatkan diri saya yang masih menempatkan musik menjadi hiburan nomor 1 saya, yaitu Radiohead dan Dream Theater. Karena artikel mengenai Radiohead telah saya tulis disini, saya pun merasa berdosa bila tidak menulis artikel khusus untuk Dream Theater pula. Maka dari itulah, artikel ini tercipta. Namun saya ingin isi artikel ini berbeda dengan apa yang saya tulis untuk Radiohead. Ide pun mencuat, mengingat Dream Theater masih begitu asing untuk Indonesia dan juga mungkin para pembaca blog saya yang setia (kalaupun ada ya), saya ingin artikel ini bagaikan step by step untuk kalian dalam mengenal Dream Theater.



Sedikit informasi mengenai Dream Theater, Dream Theater berdiri pada tahun 1985. Posisi saat ini adalah James LaBrie (vocalist), John Petrucci (Guitarist), John Myung (Bassist), Jordan Rudess (Keyboardist) dan Mike Mangini (Drummer) yang mengisi posisi yang sebelumnya diisi oleh salah satu pendiri band ini yaitu Mike Portnoy yang memutuskan untuk istirahat dahulu pada tahun 2010 lalu. Entah kapan Portnoy akan kembali, namun para penggemar Dream Theater tentu sangat merindukan tabuhan drum nya. Untungnya Mangini sejauh ini melakukan tugas nya dengan brilian. Hingga saat ini telah 13 album studio yang telah dirilis oleh Dream Theater dan menjadi salah satu band, jika bukan, terbaik yang pernah ada berkat perpaduan harmonisasi musik yang mereka ciptakan, juga skill-skill dari personil nya yang tidak sulit memukau penggemar musik.

Musik yang diproduksi Dream Theater tentu saja berbeda, dan juga rasanya tidak berlebihan bila saya berpendapat bila musik Dream Theater memang tidak untuk semua orang, tetapi saya yakin bila kalian meluangkan waktu kalian untuk memberikan kesempatan mendengar lagu-lagu Dream Theater, apalagi kalian menyukai musik, maka kalian akan berakhir seperti saya, yaitu menggemari karya-karya musik Dream Theater. Baiklah, berikut adalah langkah demi langkah untuk mencoba mendengarkan Dream Theater.

Beginner

Dream Theater cukup dikenal luas kala lagu mereka yaitu Pull Me Under terdapat di salah satu lagu game Guitar Hero 2 dalam konsol PlayStation 2. Tentu saja dengan alunan metal yang berbeda, serta solo guitar yang enak didengar, Pull Me Under berhasil merebut hati baik itu gamer ataupun penggemar musik kasual. Maka bukan lah langkah yang buruk untuk mengenal Dream Theater lewat lagu ini. Tetapi, sekedar info saja, dalam kalangan penggemar Dream Theater, lagu Pull Me Under ini cenderung biasa. Ibarat kata, Pull Me Under adalah Creep-nya Dream Theater. Kalo saya sendiri, lagu Dream Theater yang saya dengar pertama kali adalah The Spirit Carries On yang cenderung ballad untuk ukuran musik Progressive Metal, namun dari lagu ini lah saya mengenal Dream Theater dan mulai tertarik untuk mengikuti Dream Theater. The Spirit Carries On bagi saya tetaplah menjadi salah satu lagu favorit saya dari Dream Theater. Lagu ini sangat cocok untuk kalian yang lagi galau, baik dalam hal percintaan ataupun kehidupan, lagu yang cukup uplifting dan menyuntikkan kembali semangat hidup dalam diri. Bedanya dengan Pull Me Under, The Spirit Carries On sedikit underrated bila dibandingkan lagu-lagu Dream Theater lainnya. Bila kalian belum cukup terbiasa dengan lagu-lagu yang berdurasi panjang, mungkin ada baiknya kalian mendengar Another Day terlebih dahulu. Lagu ini tidak jauh berbeda dengan The Spirit Carries On. Nuansa ballad yang kental, makna lagu yang mengenai hidup yang begitu berdekatan dengan kematian, namun Another Day cukup berdurasi singkat, yaitu hanya 4 menit lebih saja. Dalam 4 menit tersebut, masih terdapat solo guitar dari Petrucci yang memukau. Isi liriknya pun begitu dalam, sehingga cukup berfungsi untuk kalian yang ingin update status di medsos kalian. Lewat tiga lagu yang saya sebut ini saja, saya yakin virus Dream Theater telah masuk ke dalam kalian, namun bila belum meyakinkan kalian, coba cek penampilan mereka di Budokan yang membawakan lagu Hollow Years. Trust me, you'll be glad if you did.



Intermediate

Nah, bila pada tahap awal ini, kalian mulai mendapatkan feel nya dan penasaran dengan lagu-lagu Dream Theater lainnya, kalian pun sudah cukup siap untuk mendengar lagu Dream Theater yang berdurasi 10 menit lebih. Tetapi jangan terlalu terburu-buru, lebih baik kalian mendengar lagu Metropolis Pt.1: The Miracle and The Sleeper dahulu. Yap, lagu ini cukup populer di kalangan penggemar Dream Theater. Tidak butuh waktu lama, hanya di bawah durasi 1 menit saja, lagu ini telah menunjukkan magis nya saat riff guitar John Petrucci mulai membahana, tidak ketinggalan begitu dinamisnya hentakan drum dari Mike Portnoy. Pegang kata-kata saya, Metropolis Pt. 1 tidak akan mengecewakanmu. Dalam hanya durasi 9 menit lebih, Dream Theater menunjukkan identitas musik mereka, skill bermusik dari tiap personil tampak dalam durasi 9 menit tersebut dan mungkin lewat lagu ini pula, kalian akan menyadari harmonisasi musik yang dimiliki Dream Theater yang luar biasa. Tidak percaya? Dengarkan saja bagian instrumennya di pertengahan. Selanjutnya, silahkan pilih beberapa opsi berikut:

The Glass Prison : Bisa dibilang ini adalah lagu Dream Theater yang paling "kasar" dan brutal. Saya bisa bilang begitu ya karena hentaman drum dari Portnoy yang seolah-olah ingin menghancurkan perangkat alat drum nya lewat tabuhan dua stik nya. Sebelumnya juga, The Glass Prison diisi oleh merdu nya permainan bass-nya John Myung, yang dilanjutkan oleh teriakan distorsi gitar dari Petrucci, yang diiringi pula hentakan drum penuh tenaga dari Portnoy, lalu tidak lupa permainan keyboard Jordan Rudess yang seakan tidak mau kalah. Lalu dimulailah sosok sebenarnya lagu The Glass Prison yang tampak "kacau" juga tidak beraturan. The Glass Prison menurut saya adalah lagu yang paling head banging dari Dream Theater. Oh, saya lupa, vokal dari James LaBrie pun tidak ketinggalan menyempurnakan lagu "curhatan" dari Portnoy yang menceritakan dirinya yang kesusahan untuk melepaskan ketergantungannya akan minuman keras.

Breaking All Illusion : Bila kalian memiliki kelemahan dengan melody yang dihasilkan dari 6 senar gitar, maka saya bisa jamin, kalian akan menyukai Breaking All Illsuions. Tidak usah berlama-lama karena di bagian intro saja, Petrucci telah menyuguhkan permainan gitar yang menawan. Sampai ke bagian pertengahan, kalian akan mendengar salah satu permainan solo terbaik dari Petrucci, yang juga menjadi bagian terbaik dari lagu berdurasi 13 menit lebih ini. What a beautiful melody. Tanpa mengenyampingkan keindahan yang turut disumbangkan oleh personil lain, permainan Petrucci memang mengambil peran besar dan juga salah satu alasan kuat mengapa Breaking All Illusions menjadi favorit bagi sebagian besar penggemar Dream Theater (termasuk saya). Lagu yang liriknya ditulis oleh John Myung ini juga bisa dibilang start yang baik untuk pengganti Portnoy di bagian drum, yaitu Mike Mangini.



The Shattered Fortress : Lagu head banging lainnya dari Dream Theater. Dari awal saja kita telah disuguhkan permainan riff yang begitu dinamis. Menurut informasi, The Shattered Fortress bagai kombinasi dari lagu-lagu ciptaan Portnoy sebelumnya, seperti The Root of All Evil atau juga This Dying Soul, tapi favorit saya setelah The Glass Prison adalah lagu ini dan saya rekomendasikan dengar lagu ini saja terlebih dahulu sebelum mendengar dua lagu yang saya tulis sebelumnya. Sebagai penutup, Dream Theater memasukkan intro dari The Glass Prison yang mampu membuat saya teriak kegirangan seperti anak kecil kala mendengar lagu ini untuk pertama kali. Penutup yang begitu sempurna untuk lagu yang kembali menceritakan usaha Portnoy yang terjebak dalam ketergantungan mengkonsumsi minuman beralkohol.

The Best of Times : Sebagai langkah akhir untuk mencapai tahapan selanjutnya, sebaiknya kalian mendengar lagu ballad lainnya dari Dream Theater yang kembali diciptakan oleh Portnoy, yaitu The Best of Times. Rasanya susah untuk kalian tidak mencintai lagu ini, apalagi bila telah mencapai tahapan ini. Intronya begitu mengena di hati, sehingga tidak heran bila merinding akan kalian rasakan saat alunan melankolis pada keyboard dan petikan gitar yang sendu, sebelum baru lah musik tipikal Dream Theater mulai mengudara. Dream Theater seolah memainkan emosi kita disini, setelah musik progressive nya menggema, seolah membawa kita kembali akan kenangan-kenangan indah masa lalu, kemudian mulai memasuki bagian sendu nya yang diawali oleh permainan keyboard Jordan Rudes yang begitu menyayat hati akan pedihnya kehilangan seseorang yang begitu kita sayangi. Dan dari sini lah, tepatnya di bagian akustik, kita merasakan begitu banyaknya waktu-waktu yang seharusnya kita manfaatkan sebaik-baiknya bersama dengan orang yang sangat berarti dalam hidup kita. Ditutup dengan solo gitar dari Petrucci yang berhasil menjadi fan favorite, lagu yang diciptakan Portnoy untuk almarhum ayah nya ini mungkin menjadi lagu yang bisa membuatmu beruraikan air mata, selain The Spirit Carries On.


Expert

Pada titik ini, saya telah bisa mengasumsikan bila kalian telah menyukai, bahkan mungkin mencintai Dream Theater dan telah terbiasa dengan musik yang mereka tawarkan. Maka dari itu, bila kalian telah mencapai titik ini, kalian pun telah bisa melahap lagu-lagu mereka yang memiliki durasi panjang. Tetapi percayalah, tidak akan ada semenitpun kalian merasakan kebosanan karena dalam lagu berdurasi panjang tersebut, kita akan mendengar salah satu keajaiban dalam dunia musik. Hingga saat ini, saya masih terheran-heran bagaimana mereka bisa membawakan lagu panjang seperti ini. Mempertahankan harmonisasi di tengah susahnya not-not yang mereka mainkan tentu bukan perkara yang mudah. Nah, untuk mencoba terbiasa dengan lagu berdurasi panjang Dream Theater, ada baiknya kalian mengawalinya dengan lagu berdurasi 19 menit lebih dari Dream Theater, yaitu The Count of Tuscany. Mengapa saya menyarankan lagu ini? Karena bagi saya, lagu ini mudah disukai oleh penikmat awal musik Dream Theater. Dari petikan gitar di pembuka nya saja, The Count of Tuscany telah berhasil merebut hati. Lalu beberapa menit kemudian, barulah suara lengkingan gitar dan instrumen lainnya menyapa kita, dan bersiaplah mendengarkan salah satu intro terbaik dari Dream Theater. Tanpa mendiskreditkan personil lainnya, namun suara yang dikeluarkan Jordan Rudess lewat keyboard nya di intro lah yang berpengaruh besar sehingga saya bisa menyatakan intro dari The Count of Tuscany merupakan salah satu yang terbaik yang dihasilkan oleh Dream Theater.

Namun lagu ini jelas tidak hanya memiliki intro yang dengan mudahnya mencuri perhatian, namun di paruh keduanya bisa dibilang bagian terbaik dari lagu ini. Dirasa cukup dengan musik progresif nya, The Count of Tuscany mulai memasuki ke bagian slow nya, dan transisi dari musik penuh speed ke musik yang lembut diisi dengan permainan kombinasi antara melodi gitar dari Petrucci dan suara efek keyboard dari Rudess yang panjang. Bagian inilah yang membuat The Count of Tuscany begitu indah, walau menawarkan atmosfir kelam dalam suara yang dihasilkan, namun di sisi lain terselip keindahan di dalamnya, sebelum suara gitar digenjreng sebagai penanda masuknya lagu ke bagian selanjutnya dan akhirnya suara James LaBrie mengisi lagu. The Count of Tuscany memiliki inti cerita akan rasa cemas manusia yang begitu dekat dengan kematian, dan bagian saat James LaBrie mulai bernyanyi setelah transisi yang panjang tadi ini lah yang mewakili inti cerita tersebut. Dari intro yang mudah merebut hati, musik progresif yang begitu tepat untuk pendengar yang tengah melakukan perjalanan jauh, kemudian transisi panjang nan sendu sebelum memasuki bagian slow dalam lagu yang menceritakan pengalaman dari John Petrucci ini, dan ditutup dengan musik closing yang mirip dengan intronya, The Count of Tuscany sangat lah tepat untuk kalian dalam mengawali petualangan kalian yang sedang ingin mencoba lagu-lagu berdurasi panjang milik Dream Theater. 

Tentu saja bukan hanya The Count of Tuscany lagu berdurasi panjang nya Dream Theater karena masih ada beberapa lagu yang bahkan menyentuh 20 menit lebih, seperti A Change of Seasons dan lagu underrated Dream Theater lainnya yaitu In the Presence of Enemies. In the Presence of Enemies sendiri terbagi menjadi dua bagian, dimana lagu ini menjadi pembuka sekaligus penutup di album Systematic Chaos, namun saya lebih memilih untuk menyatukan lagu ini. Saya kurang mengerti mengapa lagu ini sedikit terlupakan karena bagi saya, lagu ini tidak hanya memiliki instrumen sulit namun enak didengar seperti lagu Dream Theater lainnya, namun bagi saya lagu ini mampu menjadi perwakilan untuk orang yang memiliki kegelapan di dalamnya. Dan saya tanya, siapa yang tidak seperti itu? Kita semua pasti memiliki "dark master" di dalam diri kita, dan hal itu lah yang tersaji di Part 1, sebelum pada Part 2, tepatnya di akhir, Dream Theater mengajak kita kembali untuk memerangi "dark master" untuk kembali menerima sisi baik dalam diri kita dan kembali melanjutkan kehidupan.

Bila kalian belum teryakini untuk mendengarkan In the Presence of Enemies, maka saya sarankan untuk mendengar A Change of Seasons. Apa yang membuat kalian mencintai Dream Theater sebelumnya masih ada disini. Sebenarnya susah untuk mendefinisikan lagu masterpiece seperti ini, cukup dengarkan saja dan penilaian saya serahkan kepada kalian. A Change of Seasons, sama seperti kebanyakan lagu Dream Theater lainnya, mengajak kita untuk merenungi kehidupan. Terdapat satu-dua lirik yang begitu berkesan untuk saya yaitu "Cherish your life, while you still around". Yang pasti, sekali lagi, ini adalah salah satu masterpiece yang dihasilkan Dream Theater. Masterpiece lainnya? Octavarium.



Octavarium bagi saya berbeda, karena untuk pertama kalinya, saat mendengar pertama kali, Octavarium tidak lah terlalu meninggalkan kesan berarti untuk saya. Dengan pengalaman ini pula lah, saya menempatkan Octavarium sebagai lagu terakhir di bagian Expert ini, karena memang butuh beberapa kali untuk mendengar Octavarium sebelum kita mulai jatuh cinta dengan track yang satu ini. Selain itu, saya merasa Octavarium adalah lagu yang paling sulit dimengerti makna nya. Tetapi kembali lagi, ini adalah masterpiece dari Dream Theater, bahkan banyak yang menempatkannya sebagai lagu terbaik dari Dream Theater. Intinya, masterpiece among another masterpieces. Maka tidak ada ruginya bila kalian mendengar lagu ini hingga beberapa kali, saya sarankan mungkin cukup dengarkan lagu ini 3 kali. Saya jamin, sisi magis Octavarium akan segera kalian rasakan dan viola, kalian pun akhirnya akan bisa memahami mengapa Octavarium dicap sebagai lagu terbaik dari Dream Theater. 

"Trapped inside this octavarium, Trapped inside this octavarium, Trapped Inside this octavarium, Trapped inside this octavarium, Trapped inside this OCTAVARIUUUUUUMMMMM"

Dan, yah, pada akhirnya bila kalian telah mengikuti langkah-langkah di atas, saya percaya bila kalian telah masuk dan bergabung dengan saya sebagai penggemar Dream Theater. Dream Theater akan menemani hari-harimu, tidak akan merasakan kesepian lagi karena, hey, siapa yang membutuhkan teman bila kalian memiliki Dream Theater dalam playlist di mp3 mu? Dan tidak hanya itu, mendengar Dream Theater juga membuatmu merasa keren.



More great songs from Dream Theater you should listen too:
Endless Sacrifice
The Root of All Evil
Learning to Live
Home
Blind Faith
The Looking Glass
Illumination Theory
Panic Attack
In the Name of God
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!